Ketika awal-awal kuliah, dosen saya sekaligus seorang dokter spesialis mata memberikan kuliah mengenai bagaimana cara belajar selama di FK (bukan fakultas kaya). Dengan embel-embel Sp. M tidak jarang dia menerangkan segala sesuatu yang berkaitan dengan mata.

Tentu kuliah di FK harus punya strategi tersendiri, sedikit berbeda dengan fakultas lainnya. Dengan tugas yang menggunung setiap minggunya, buku-buku setebal batako dan kuliah minus liburan bisa membuat mahasiswa jadi stres. Wajar jika pihak fakultas kemudian memberikan cara belajar di FK. Begitulah kalau mau jadi dokter.

Siang yang panas, kelaparan gaya mahasiswa dan kuliah yang lama tentu membuat mahasiswa ingin tidur atau pulang. Walaupun tidak semua begitu, maklum awal kuliah semua mahasiswa punya semangat 45 untuk jadi dokter. Namun begitu sudah memasuki semester empat keatas, mungkin semangat sudah melempem bersama tugas dan batako.

Dosen ini tentu tidak akan suasana kuliahnya berlangsung statis. Dengan gaya berjalannya khas manula, berjalan perlahan-lahan menyusuri tempat duduk mahasiswa.

Sambil memberikan mahasiswa, dia bertanya,” Bagaimana caramu mengatasi rasa ngantuk?”

“Biasanya untuk mengatasi rasa kantuk, saya meminum kopi,”jawab teman saya dengan semangat ingin segera mengenakan jas putih.

“Kalau saya biasanya, membaca buku motivasi,” sahut teman saya lainnya.

Sedangkan kebanyakan cewek menjawab,” Saya biasanya chatting dengan teman FB.”

Jawaban yang berbeda-beda tapi kelihatannya membuat dosen saya terkesima. Mungkin dia menerawang semasa mahasiswa dulu. Tapi dia tidak berhenti sampai di situ, dia terus bertanya ke mahasiswa lain.

Ada seorang teman saya yang mengangkat tangan pertanda mau menegemukakan pendapat.

“Kalau menurut saya obat yang paling manjur untuk mengatasi rasa ngantuk adalah dengan tidur,” dan seluruh mahasiswapun tertawa mendengarnya.

Akhirnya dia melanjutkan,”Alasan saya melakukan hal ini adalah bahwa tubuh tidak bisa dipaksakan terus, sehingga ada waktunya untuk istirahat.”

Jawaban istimewa kalau menurut saya, tetapi dosen tidak sependapat. Dia mengatakan bahwa tips mengatasi rasa kantuk yang dikemukakan teman-teman saya itu efektif, kecuali dengan tidur tadi.

Entah mengapa sang dosen tidak setuju dengan tidur sebagai obat utama. Tapi terus terang saya setuju kalau tidur menjadi obat paling poten untuk mengatasi rasa kantuk. Saya mengutip kitab Guyton, buku batako mengenai dasar-dasar fisiologi manusia mengenai efek fisiologis tidur.

Pada dasarnya keadaan tidur menyebabkan dua macam efek fisiologis utama; yaitu pada saraf dan sistem fungsional tubuh yang lain. Keadaan siaga yang berkepanjangan sering dihubungkan dengan gangguan proses berpikir yang progresif, dan kadang-kadang bahkan dapat menyebabkan aktivitas perilaku yang abnormal.
Pada orang yang siaga berkepanjangan  artinya selalu “ON” akan menyebabkan orang menjadi mudah tersinggung, atau bahkan psikotik sesudah mode on dipaksakan. Oleh karena itu kita menganggap bahwa tidur, melalui berbagai cara, dapat memulihkan tingkat aktivitas normal dan keseimbangan normal diantara berbagai sistem saraf pusat. Hal ini tampaknya seperti komputer yang kehilangan “base line” kerjanya. Artinya hampir sama dengan komputer jika dihidupkan 24 jam sehari akan menurunkan performa komputer. Efek yang sama, terutama terjadi pada sistem saraf pusat, karena penggunaan yang berlebihan beberapa area otak selama siaga dengan mudah mengganggu keseimbangan sistem saraf yang tersisa.

Tentu saja efek utama dari tidur adalah memulihkan keseimbangan alami di pusat-pusat neuron. Fungsi fisiologis yang spesifik dari tidur masih merupakan misteri. Seperti misteri dosen saya yang tidak setuju dengan tidur sebagai obat ngantuk utama.

Pada dasarnya orang bebas memilih mau tidur atau tidak, mengingat tuntutan hidup saat ini yang demikian berat. Ketika dalam keadaan ngantuk yang sangat kronik, pergilah ke tempat tidur anda. Pejamkan mata, raihlah mimpi dan siaga disana. Ketika bangun tentu tubuh akan dalam keadaan lebih bugar, mengingat efek fisiologis dari tidur. Ini berarti tubuh siap meraih mimpi di dunia nyata.

Mungkin sangat benar apa kata teman saya. Kalau ngantuk, ya tidur.

ZZZZZzzzzzz




Felix Baumgartner akhirnya bisa bernafas lega setelah menuntuaskan misinya. Ia selamat tiba kembali di tanahj setelah terjun dari ketinggian lebih dari 39 kilometer dan meluncur jatuh dengan kecepatan Mach 1,24 atau 1,24 kali kecepatan suara. Wow



Menggunakan kapsul yang ditumpangi, Baumgartner lepas landas dari tempat peluncuran  di Roswell, New Mexico, Ameriksa Serikat. Dengan ditarik balon helium raksasa selama 2,5 jam, dan mencapai ketinggian 128.097 kaki atau hampir tiga kali lebih tinggi dari rencana semula.

Direkam dengan 30 kamera dar berbagai sudut dan disiarkan langsung ke seluruh dunia, Baumgartner menunjukkan kemampuannya. Brian Utey mengatakan, baumgartner jatuh dengan kecepatan 1.342,8 kilometer per jam atau 1,2 kali kecepatan suara.

Peterjun dan pilot asal Austria itu terjun bebas selama 4 menit 44 detik sebelum akhirnya membukanparasut yang berwarna merah putih pada ketinggian hanya 1,5 kilometer dari permukaan tanah dan terjun selama 9 menit 3 detik dengan parasut.

Dengan aksi yang telah dilakukannya ini setidaknya dia berhasil mengantongi tiga rekor dunia. yaitu terjun bebas tertinggi, kecepatan tertinggi saat terjun bebas dan penerbangan udara berawak tertinggi. Ia juga menjadi yang pertama yang menembus kecepatan suara tanpa bantuan pesawat atau kendaraan lain.
Penerjunan spektakular ini menarik perhatian dari seluruh dunia. sebanyak 40 stasiun televisi di 50 negara juga menayangkan penerbangan ini. Setidaknya apa yyang telah dilakukannya menjadi standar baru NASA dalam membuat baju astronot dalam penjelajahan luar angkasa masa depan.

Sumber
Kompas 20121016. Rekor Terjun. Baumgartner Selamat Menembus Mach 1,24.
Koran Seputar Indonesia 20121016. Terjun dari angkasa lapaui Kecepatan Suara

Enhanced by Zemanta




Merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologisdan berjalan kronik persisten atau reversible.
Etiologi
1.      Infeksi
2.      Kelainan heriditer atau kelainan kongenital
3.      Faktor mekanis yang mempermudah timbulnya infeksi
4.      Sering penderita mempunyai riwayat pneumoni sebagai komplikasi campak, batuk rejan,  atau penyakit menular lainnya semasa kanak-kanak.
Patofisiologi 
Infeksi merusak dinding bronchial, menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronchial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial, sehingga alam kasus bronkiektasis sakuar, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Bronkiektaksis biasanya setempat, menyerang lobus atau segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih sering terkena. Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps (atelektasis). Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami infusiensi pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang di inspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.
Manifestasi klinis
1.    Batuk yang menahun dengan sputum yang banyak terutama pada pagi hari, setelah tiduran dan berbaring.
2.      Batuk dengan sputum menyertai batuk pilek  selama 1-2 minggu atau tidak ada gejala sama sekali ( Bronkiektasis ringan )
3.      Batuk  yang terus menerus dengan sputum yang banyak kurang lebih    200 - 300 cc, disertai demam, tidak ada nafsu makan, penurunan berat badan, anemia, nyeri pleura, dan lemah badan  kadang-kadang sesak nafas dan sianosis, sputum sering mengandung bercak darah,dan batuk darah.
4.      Ditemukan jari-jari tabuh pada 30-50 % kasus.
Tatalaksana
a.    Infeksi dikendalikan dengan terapi antimikroba didasarkan pada hasil pemeriksaan  sensitivitas  pada organisme yang di kultur dari sputum. Pasien mungkin dimasukkan ke dalam regimen antibiotic yang berbeda pada interval yang bergantian. Beberapa dokter meresepkan antibiotic sepanjang musim dingin atau ketika terjadi infeksi saluran pernafasan atas. Pasien harus divaksinasi terhadap influenza dan pneumonia pneumokokus.
b.    Drainase postural dari tuba bronchial mendasari semua rencana pengobatan karena drainase area bronkiektaksis oleh pengaruh gravitasi mengurangi jumlah sekresi dan tingkat infeksi. (kadang-kadang sputum mukopurulen harus dibuang dengan bronkoskopi). Daerah dada yang sakit mungkin diperkusi atau di “tepuk-tepuk” untuk membantu melepaskan sekresi. Drainase postural pada awalnya dilakukan untuk periode  singkat dan kemudian ditingkatkan dengan pasti.
c.    Bronkodilator dapat diberikan pada individu yang juga mengalami penyakit obstruksi jalan nafas. Pasien dengan bronkiektasis hampir selalu mempunyai kaitan dengan bronchitis. Simpatomimetik, terutama Beta-adrenergik, dapat digunakan untuk meningkatkan transfort sekresi mukosiliaris.
d.   Untuk meningkatkan pengeluaran sputum, kandungan air dari sputum ditingkatkan dengan tindakan aerosolized nebulizier dan dengan meningkatkan masukan cairan peroral. Face tent baik untuk member kelembaban ekstra terhadap aerosol. Pasien harus tidak merokok, karena merokok merusak drainase bronchial dengan melumpuhkan aksi siliaris, meningkatkan sekresi bronchial, dan menyebabkan inflamasi membrane mukosa, mengakibatkan hyperplasia kelenjar mukosa.
e.    Intervensi bedah, meski tidak sering dilakukan, mungkin diperlukan bagi pasien yang secara kontinu mengeluarkan sputum dalam jumlah yang sangat besar dan mengalami penyakit pneumonia dan hemoptisis berulang meskipun kepatuhan pasien terhadap regimen pengobatan. Namun demikian, penyakit harus hanya mengenai satu atau dua daerah paru yang dapat diangkat tanpa menyebabkan insufiensi pernafasan. Tujuan tindakan pembedahan adalah untuk menjaga jaringan paru normal dan menghindari komplikasi infeksius. Semua jaringan yang sakit diangkat, sehingga fungsi paru pascaoperatif akan adekuat. Mungkin ada baiknya untuk mengangkat suatu segmen lobus (reseksi segmental), lobus (lobektomi), atau keseluruhan paru (pneumonnektomi). Reseksi segmental adalah pengangkatsubdivisi anatomi dari lobus paru. Keuntungan utama dari tindakan iini adalah bahwa hanya jaringan yang sakit saja yang diangkat dan jaringan paru yang sehat terpelihara. Bronkografi membantu dalam menggambarkan segmen paru. Pembedahan didahului dengan periode persiapan operasi yang cermat. Tujuannya adalah untuk memungkinkan agar percabangan trakeobronkial kering (sekering mungkin) untuk mencegah komplikasi (atelektasis, pneumonia, fistula bronkopleura, dan emfisema). Tujuan ini dicapai dengan cara drainase postural atau tergantung pada letak abses, dengan suksion langsung melalui bronkoskop. Serangkaian terapi abtibakterial mungkin diresepkan.




Penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara nafas yang tidak sepenuhnya reversible atau irreversible. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun.

Epidemiologi
COPD adalah penyebab kematian keempat dan mempengaruhi 16 juta orang di Amerika Serikat. GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) memperkirakan COPD akan bangkit dari keenam menjadi ketiga paling umum yang menyebabkan kematian di seluruh dunia pada tahun 2020. Laporan survei kesehatan nasional prevalensi emfisema pada 18 kasus per 1000 orang dan bronkitis kronis pada 34 kasus per 1000 orang. Sementara tingkat emfisema sebagian besar tidak berubah sejak tahun 2000, tingkat bronkitis kronis telah menurun. Studi lain memperkirakan prevalensi 10,1% di Amerika Serikat. Prevalensi tepat COPD di seluruh dunia sebagian besar tidak diketahui, tetapi perkiraan telah bervariasi dari 7-19%.

Etiologi
·         Merokok
Penyebab utama COPD adalah paparan asap rokok. Secara keseluruhan, rokok tembakau menyumbang sebanyak 90% dari risiko COPD.

·         Faktor lingkungan
COPD dapat terjadi pada individu yang tidak pernah merokok. Walaupun peran polusi udara di etiologi dari COPD tidak jelas, efeknya kecil bila dibandingkan dengan merokok. Di negara-negara berkembang, penggunaan bahan bakar biomassa dalam ruangan memasak dan Pemanas ruangan ini cenderung menjadi penyumbang utama prevalensi COPD di seluruh dunia. Lama jangka paparan polusi udara lalu lintas yang terkait dapat menjadi faktor dalam COPD pada pasien dengan diabetes dan asma.

·         Respon saluran nafas
Kecenderungan untuk peningkatan bronkokonstriksi dalam menanggapi berbagai rangsangan eksogen, termasuk methacholine dan histamin, adalah salah satu fitur yang menentukan asma.
·         Infeksi pernafasan
Ini telah dipelajari sebagai faktor risiko potensial untuk perkembangan dari COPD pada orang dewasa; infeksi saluran pernapasan masa kanak-kanak juga dinilai sebagai faktor predisposisi potensial untuk pengembangan akhir COPD.

·         Defisiensi Alpha1-antitrypsin

Alpha1-antitrypsin (AAT) adalah anggota glikoprotein keluarga protease inhibitor yang disintesis di dalam hati dan dikeluarkan dalam aliran darah. Tujuan utama 394-asam-amino, protein rantai tunggal adalah untuk menetralisir neutrofil elastase di paru-paru interstitium dan melindungi paru-paru parenchyma dari kerusakan elastolytic . kekurangan AAT parah predisposisi untuk elastolysis tanpa perlawanan dengan sequela klinis dari onset dini panacinar emfisema.

  1. Emfisema
Emfisema didefenisikan sebagai suatu pelebaran normal dari ruang - ruang udara paru disertai dengan destruksi dari dindingnya. Pelebaran ruang udara yang tidak disertai destruksi disebut  overinflasi atau hiperinflasi. Beberapa jenis emfisema :
a)  Emfisema sentrilobular termasuk kelainan pada asinus proksimal (bronkioli respiratorik), namun bila  progresif, dilatasi dan destruktif dari dinding distal alveoli juga akan terjadi. Secara khas perubahan akan lebih sering dan lebih berat dibagian atas daripada dibagian zone bawah lobus, bentuk emfisema  ini adalah penyakit yang paling dominan pada perokok.
b)  Emfisema panasinar ; terjadi pelebaran alveoli yang progresif dan duktus alveoli, serta hilangnya dinding batas antara duktus alveoli dan alveoli. Dengan progresifitas dan destruktif dari dinding alveoli ini, ada  simplikasi dari struktur paru. Bila proses menjadi difus, biasanya lebih jelas tandanya pada lobus bawah, bentuk emfisema ini lebih sering terjadi pada wanita dewasa, walaupun perokok dapat menyebabkan bentuk dari emfisema ini, namun hubungan tersebut tidak sesering pada emfisema sentilobuler.
c)  Emfisema parasepta atau sub pleura ; biasanya terbatas pada zona sub pleura dan sepanjang septa interlobaris, yang  ditandai dengan keterlibatan asinus distal, alveoli dan kadang-kadang duktus alveoli.  Bentuk ini sering menimbulkan gelembung bula yang besar langsung di bawah pleura, dan juga dapat menimbulkan pneumotoraks pada dewasa muda. 
d)  Emfisema ireguler ; emfisema ini sering dihubungkan dengan parut paru, bentuk ini biasanya terbatas ekstensinya, karena itu hanya menyebabkan dampak yang kecil pada fungsi pernapasan.
Patogenesis
            Patogenesis emfisema bisa di jelaskan melalui 4 proses yang saling berkaitan yaitu:
·         Perekrutan sel inflamatory ke daerah ruang – ruang udara paru.Bisa di sebabkan oleh paparan asap rokok yang lama.
·         Inflamatory sel tersebut melepas elastolitik proteinase yang menghancurkan matrix ekstraseluler paru
·         Kehilangan matrix sel dapat menimbulkan apoptosis dari sel struktural paru
·         Kemudian timbul pembesaran ruang udara paru yang merupakan akibat dari ketidakefektifan perbaikan elastin ataupun matrix ekstraselular yang rusak sehingga jadilah emfisema.

2.      Bronchitis kronis
Merupakan gagguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagaibatuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut,sputum dapat berupa mukoid atau mukopurulen.

3.      Asma Bronkial
Merupakan hipersensitivitas cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan dengan manifestasi penyempitan jalan napas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme.

Pengobatan

Beta2-Adrenergik Agonists, aksi cepat

Beta2-agonists mengaktifkan B2-adrenergik reseptor spesifik pada permukaan sel-sel otot, yang meningkatkan intraselular siklik adenosin monofosfat (camp) dan relaksasi otot polos. Beta2-agonists menghasilkan bronchodilatasi yang lebih kecil pada COPD daripada asma. Pasien menggunakan beta2-agonists terutama untuk menghilangkan gejala COPD. Pada pasien dengan gejala ringan, berselang, pendek  beta2-agonists dianjurkan untuk menghilangkan gejala simtomatik.

Beta2-Adrenergik Agonists, aksi panjang

Beta2-agonist bronchodilators mengaktifkan beta2-adrenergik reseptor spesifik pada permukaan sel-sel otot, yang meningkatkan intraselular siklik adenosin monofosfat (camp) dan relaksasi otot polos. Pada pasien dengan gejala lebih persisten, agonist beta aksi panjang harus digunakan. Beta agonists berkelanjutan telah terbukti mencegah dyspnea nokturnal, dan meningkatkan kualitas hidup. Beta-agonists Berkelanjutan termasuk salmeterol, formoterol, arformoterol, dan indacaterol. Mereka semua memerlukan dua kali sehari-dosis, kecuali untuk indacaterol, sekali sehari.

Agen Antikolinergik

Obat-obatan anticholinergic bersaing dengan asetilkolin pada postganglionic muscarinic reseptor, sehingga menghambat secara kolinergik ditengahi bronchomotor nada, mengakibatkan bronchodilatasi. Mereka memblokir secara vagal dimediasi refleks busur yang menyebabkan bronkokonstriksi. Manfaat klinis diperoleh melalui penurunan latihan-menginduksi hiperinflasi dinamis. Agen ini buruk diserap secara sistemik dan relatif aman. Dilaporkan efek termasuk mulut kering, rasa logam, dan gejala prostatic.

Turunan Xantine
Turunan Xantine seperti theopiline melemaskan otot-otot polos bronkus dan pembuluh darah paru-paru. Inhibisi phosphodiesterase oleh agen ini menyebabkan peningkatan siklik adenosin monofosfat (camp), menyebabkan relaksasi otot-otot polos berhubungan dgn cabang tenggorokan.

Bronkodilator
Secara umum, bronchodilators digunakan untuk manfaat gejala pada pasien dengan COPD. Rute inhalasi lebih disukai untuk penggunaan obat sebagai insiden efek samping lebih rendah daripada yang dilihat dengan menggunakan obat parenteral.

Oksigen
Tambahan O2 adalah satu-satunya terapi yang ditunjukkan untuk mengurangi angka kematian pada pasien dengan COPD. Untuk pasien dengan resting hypoxemia meskipun merugikan (resting saturasi O2  88% atau  90% dengan tanda-tanda hipertensi paru-paru atau jantung kanan), penggunaan O2 telah dibuktikan memiliki dampak signifikan pada kematian.

Antibiotik
Pasien dengan COPD sering dikoloni oleh patogen-patogen pernapasan yang potensial dan hal ini sering sulit untuk mengidentifikasi meyakinkan spesies tertentu bakteri yang bertanggung jawab untuk kejadian klinis tertentu. Bakteri sering terlibat dalam COPD exacerbations termasuk Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan yang Moraxella catarrhalis. Di samping itu, Mycoplasma pneumoniae atau Chlamydia pneumoniae ditemukan dalam 5-10% dari exacerbations. Pilihan antibiotik harus didasarkan pada pola-pola lokal antibiotik kerentanan patogen di atas, serta kondisi klinis pasien. Kebanyakan praktisi memperlakukan pasien dengan exacerbations moderat atau berat dengan antibiotik, bahkan dalam ketiadaan data patogen spesifik.

Glukokortikoid oral
Penggunaan steroid oral dalam perawatan akut exacerbations secara luas diterima dan direkomendasikan, mengingat keampuhan mereka tinggi. Perhatikan bahwa steroid oral tidak efektif dalam mengobati COPD exacerbations karena mereka dalam mengobati asma bronchial exacerbations.


Transplantasi paru
Transplantasi paru dilakukan hanya di pusat-pusat perawatan terpilih tersier di seluruh dunia. Pasien dengan COPD adalah kategori tunggal terbesar dari pasien yang menjalani prosedur. Ketika mengevaluasi kandidat potensial, beberapa faktor yang perlu diperhitungkan, termasuk symptomatology, comorbid kondisi dan diproyeksikan kelangsungan hidup tanpa transplantasi (misalnya, indeks BODE  > 5). Secara umum, kebanyakan pusat menetapkan batas usia 65 tahun. Kelangsungan hidup rata-rata setelah transplantasi paru-paru adalah 5 tahun. Kelangsungan hidup pada 1 tahun adalah 80-90%. Tujuan utama dari transplantasi paru adalah untuk meningkatkan symptomatology dan kualitas hidup.



Sebenarnya tulisan ini untuk saya kirim di Kompas, tetapi karena tidak diterima minggu lalu, maka lebih baik mengisi blog saya daripada nganggur. Maaf ya, soalnya juga lagi malas nulis, ditambah ada ujian yang mendekati juga. Langsung sajalah.

Kuliah bukanlah hal istemewa bagi orang yang tinggal di kota besar. Akan tetapi bagi orang yang tinggal di daerah yang jauh dari kota besar, kuliah bisa menjadi barang yang langka. Tidak salah jika kemudian banyak orangtua menyekolahkan anaknya di kota besar.

Karena berbagai alasan mahasiswa yang sudah lulus tidak segera kembali ke daerahnya masing-masing. Tentu ini akan menjadi masalah baru. Bagi kota besar, arus urbanisasi menjadi masalah yang kompleks. Bagi daerah, berarti kehilangan intelek muda yang diharapkan membawa perubahan. Ini berarti kehilangan besar potensi SDM yang diharapkan mampu membangun daerah.

Bagaimanapun mahasiswa adalah agen perubahan. Diperlukan intelek muda yang diharapkan menjadi agen perubahan di kampung halaman masing-masing. Hanya kesadaran diri dan peran orangtua yang dapat mendorong mahasiswa untuk berkarya dikampung halaman masing-masing. Bagaimanapun juga kampung halaman tentu mempunyai potensi besar, jika mahasiswa mempunyai keinginan untuk mengubahnya. Jika kesadaran diri mahasiswa ditumbuhkan, tentu ilmu yang dipelajari di kampus akan dipergunakan  untuk membangun daerah ke arah yang lebih baik. Bagaimanapun juga, tentu masyarakat berharap jika putra putri daerahnya sendiri yang menjadi agen perubahan.

Mau jadi apa jika putra putri daerah justru bekerja dan mengabdi pada daerah lain, sedangkan daerah sendiri terbengkalai. Sumber daya alam di kampung halaman tidak dimanfaatkan oleh daerah sendiri dan justru dibawa keluar. Tentu hanya intelek muda yang bisa mengubah hal ini.





Teman-taman ada yang sudah pernah menonton film ini?

Yups.. film ini diambil dari manga jepang karangan Takatoshi Yamada. Bercerita mengenai dokter bedah yang kelewat baik hati bernama Goto Kensuke yang mengasingkan diri ke pulau terpencil. Karena anak-anak salah mendengar namanya, maka namanya terpeleset menjadi dr. Koto.

Karena salah memberi kepercayaan, dia pergi dari rumah sakit universitas dan memulai karir baru sebagai dokter di sebuah pulau. Reaksi masyarakat pulau itu pada saat kedatangan pertamanya disambut dengan dini. Hal ini terjadi karena dokter-dokter sebelumnya yang pernah singgah ke pulau itu hanya mengabdi. Hal ini membuat Ayaka, perawat di klinik sebal akan dokter. Ketika dr. Koto datang ke pulau itu, akhirnya Ayaka menyadari bahwa dr.Koto berbeda dengan dokter sebelumnya.

Di bantu Ayaka dan Wada, dr. Koto sedikit-sedikit memulihkan citra masyarakat terhadap klinik pulau ini dan menaruh kepercayaan terhadap dokter. Di klinik yang kecil, dia mengobati dan mengoperasi pasien dengan peralatan seadanya. Kisah yang menarik jika anda mau memperhatikannya satu persatu. Film ini bercerita tentang nilai-nilai kehidupan, tidak seperti film lain seperti Team Medical Dragon dan Godhand Teru yang mungkin lebih meonjolkan teknik.


Setidaknya bagi yang ingin menjadi dokter, direkomendasikan menonton film ini. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Saksikan sendiri, saya tidak akan menyertai link downloadnya. Lokalnya bisa dicari di Indowebster.

Selamat menonton




Etiologi
Cedera Dari Luar
Karena benda tumpul atau benturan dapat menyebabkan ruptur kandung kemih terutama pada keadaan penuh atau pada kelainn patologik seperti pada tuberculosis, tumor atau obstuksi sehingga meskipun kecil trauma yang dialami dapat menyebabkan rupture. Luka akibat benda tajam akibat tusukan atau tembusan peluru. Luka dapat terjadi pada area suprapubik atau transperitoneal.
  • Cedera iatrogenic
Terjadi karena kesalahan saat tindakan pembedahan seperti pada bedah ginekologik
  • Fraktur pelvis
Trauma benda kandung kemih banyak terjadi karena kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja yang menyebabkan fraktur pelvis dan fragmennya mencederai kandung kemih.
Gambaran Klinis
Ruptur kandung kemih dapat besifat intraperitoneal dan ekstraperitoneal. Intraperitoneal bila cairan urin mengalami ekstravasasi ke cavum peritoneum sehingga memberi tanda cairan intraabdomen dan merangsang peritoneum. Lesi ekstraperitoneal memberikan gejala dan tanda infiltrat urin dirongga peritoneum.lesi ekstrapritoneal memberikan gejala dan tanda infiltrat urin dirongga peritoneal yang sering menyebabkan septikemia.
Gejala yang berhubungan dengan skenario adahah gross hematuria terkadang keluar darah dari uretra dan mengeluh tidak bisa buang air kecil. Nyeri pada suprapubik, regang  otot dinding perut bawah  sebagai manifestasi dari pelukaan pada bladder.
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis, ada riwayat trauma. Pemeriksaan penunjang dengan foto polos abdomen yang memperlihatkan fraktur paa tulang pelvis. Pemeriksaan radiologi lainnya degan sistogram. Pemeriksaan istogram dilakukan dengan memasukkan kontras ke bladder dan menunjukkan adanya ruptur dengan ekstravasasi urin.
Tatalaksana
Trauma buli-buli merupakan kedaan darurat bedah yang memerlukan penatalaksanaan segera. Bila tidak ditanggulangi dengan segera, dapat menimbulkan komplikasi, seperti peritonitis dan sepsis. Jika ada perdarahan atao syok harus diatasi terlebih dahulu. Bila semua sudah stabil baru beralih ke tindakan selanjutnya prinsip pemulihan ruptur bladder ialah ; penyalirn ruang perivesika, pemulihan dinding, penyaliran kandung kemih dan perivesika, dan jaminan arus urin melalui kateter.  




Epidemiologi
Trauma ureter jarang terjadi, biasanya terjadi akibat tembakan atau tusukan.

Etiologi
Cedera ureter agak jarang ditemukan karena ureter merupakan struktur fleksibel yang mudah bergerak di daerah retroperitoneal dengan ukuran kecil serta terlindung dengan baik oleh tulang dan otot. Trauma ureter biasanya disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul dari luar maupun iatrogenic. Untuk trauma tumpul pada ureter, walaupun frekuensinya sangat kecil, namun hal tersebut dapat menyebabkan terputusnya ureter, terikatnya ureter (akibat iatrogenic, seperti pada operasi pembedahan) yang bila total dapat menyebabkan sumbatan, atau bocor yang bisa menyebabkan urinoma atau fistula urine. Bila kebocoran terjadi intraperitoneal, dapat menyebabkan tanda-tanda peritonitis.

Gambaran Klinis:
-          Umumnya tanda dan gejala klinis tidak spesifik.
-          Hematuria, yang menunjukkan cedera pada saluran kemih.
-          Bila terjadi ekstravasasi urin, dapat terjadi urinoma.
-          Pada trauma tumpul gejalanya sering kurang jelas.
-          Pada cedera ureter bilateral ditemukan anuria.
-          Pada trauma yang disebabkan oleh akibat iatrogenic, seperti pada pembedahan, bila terjadi ureter terikat total atau sebagian, maka pasca bedah bisa ditenukan gejala-gajala febris, nyeri pinggang yang sering bersama-sama gejala ileus paralitik seperti mual, muntah.
Diagnosis:
-          Pada cedera ureter akibat trauma tajam biasanya ditemukan hematuria mikroskopik.
-          Pada cedera ureter bilateral terdapat peningkatan kadar ureum dan kreatinin darah.
-          Lokasi cedera ureter dapat diketahui dari pemeriksaan pielografi intravena.

Terapi:
-          Pada setiap trauma tajam harus dilakukan tindakan eksplorasi untuk menilai ada tidaknya cedara ureter serta cedera ikutan lain.
-          Yang terpenting adalah melakukan penyaliran urin yang ekstravasasi dan menghilangkan obstruksi.
-          Rekonstruksi ureter tergantung jenis, bentuk, luas, dan letak cedera.
-          Untuk cedera ureter bagian atas, dilakukan uretero-ureterostomi, nefrostomi, uretero-kutaneostomi, autotransplantasi, dan nefrektomi bila rekonstruksi tidak memungkinkan.
-          Cedera ureter bagian tengah, dilakukan uretero-ureterostomi atau transuretero-ureterostomi.
-          Alternative rekonstruksi ureter distal adalah uretero-ureterostomi, uretero-neosistostomi, misalnya melalui tabung yang dibuat dari dinding kandung kemih yang disebut nefrostomi.













Definisi
Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam trauma baik tumpul maupun tajam.

Epidemiologi
Trauma ginjal merupakan trauma yang paling sering terjadi.

Etiologi dan Patofisiologi
Ada 2 penyebab utama dari trauma ginjal , yaitu
1.      Trauma tajam
2.      Trauma Iatrogenik
3.      Trauma tumpul
Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman merupakan 10 – 20 % penyebab trauma pada ginjal di Indonesia.Baik luka tikam atau tusuk pada abdomen bagian atas atau pinggang maupun luka tembak pada abdomen yang disertai hematuria merupakan tanda pasti cedera pada ginjal. 
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas dari teknik teknik di atas, insidens trauma iatrogenik semakin meningkat , tetapi kemudian menurun setelah diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat.
Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis.

Klasifikasi
Tujuan pengklasifikasian trauma ginjal adalah untuk memberikan pedoman dalam menentukan terapi dan prognosis.


Grade I
Kontusio ginjal,terdapat perdarahan di ginjal tanpa adanya kerusakan jaringan,kematian jaringan maupun kerusakan kaliks. Hematuria dapat mikroskopik atau makroskopik.pencitraan normal.

Grade II
            Hematom subkapsular atau perineal yang tidak meluas, tanpa adanya kelainan parenkim.

Grade III
            Laserasi ginjal < 1 cm dan tidak mengenai pelviokaliks dan tidak terjadi ekstravasasi.

Grade IV
            Laserasi > 1cm dan tidak mengenai pelviokaliks atau ekstravasasi urin. Laserasi yang mengenai korteks,medulla dan pelviokaliks

Grade V
            Cedera pembuluh darah utama, avulsi pembuluh darah yang mengakibatkan gangguan perdarahan ginjal, laserasi luas pada beberapa tempat/ ginjal yang terbelah

Gejala Klinik
Pada trauma tumpul dapat ditemukan adanya jejas di daerah lumbal, sedangkan pada trauma tajam tampak luka.
Pada palpasi didapatkan nyeri tekan daerah lumbal, ketegangan otot pinggang, sedangkan massa jarang teraba. Massa yang cepat menyebar luas disertai tanda kehilangan darah merupakan petunjuk adanya cedera vaskuler.
Nyeri abdomen umumya ditemukan di daerah pinggang atau perut bagian atas, dengan intenitas nyeri yang bervariasi. Bila disertai cedera hepar atau limpa ditemukan adanya tanda perdarahan dalam perut. Bila terjai cedera Tr. Digestivus ditemukan adanya tanda rangsang peritoneum.
Fraktur costae terbawah sering menyertai cedera ginjal. Bila hal ini ditemukan sebaiknya diperhatikan keadaan paru apakah terdapat hematothoraks atau  pneumothoraks
Hematuria makroskopik merupakan tanda utama cedera saluran kemih. Derajat hematuria tidak berbanding dengan tingkat kerusakan ginjal. Perlu diperhatikan bila tidak ada hematutia, kemungkinan cedera berat seperti putusnya pedikel dari ginjal atau ureter dari pelvis ginjal. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda shock.

Diagnostik Radiologi
Ada beberapa tujuan pemeriksaan radiologis pada pasien yang dicurigai menderita trauma ginjal, yaitu:
1.      Klasifikasi beratnya trauma sehingga dapat dilakukan penenganan yang tepat dan menentukan prognosisnya
2.      Menyingkirkan keadaan ginjal patologis pre trauma
3.      Mengevaluasi keadaan ginjal kontralateral
4.      Mengevaluasi keadaan organ intra abdomen lainnya
Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :

Grade I
·           Hematom minor di perinephric , pada IVP, dapat memperlihatkan gambaran ginjal yang abnomal
·           Kontusi dapat terlihat sebagai massa yang normal ataupun tidak
·           Laserasi minor korteks ginjal dapat dikenali sebagai dfek linear pada parenkim atau terlihat mirip dengan kontusi ginjal
·           Yang lebih penting, pencitraan IVP pada pasien trauma ginjal grade I dapat menunjukkan gambaran ginjal normal. Hal ini tidak terlalu menimbulkan masalah karena penderit grade I memang tidak memerlukan tindakan operasi .
·           Pada CT Scan, daerah yang mengalami kontusi terlihat seperti massa cairan diantara parenkim ginjal

Grade II
·           Pada IVP dapat terlihat extravasasi kontras dari daerah yang mengalami laserasi
·           Extravasasi tersebut bisa hanya terbatas pada sinus renalis atau meluas sampai ke daerah perinefron atau bahkan sampai ke anterior atau posterior paranefron.
·           Yang khas adalah, batas ;uar ginjal terlihat kabur atau lebih lebar.
·           Dengan pemeriksaan CT Scan , fraktur parenkim ginjal dapat terlihats
·           Akumulasi masif dari kontras, terutama pada ½ medial daerah perinefron, dengan parenkim ginjal yang masih intak dan nonvisualized ureter, merupakan duggan kuat terjadinya avulsi ureteropelvic junction

Grade III
·           Secara klinis pasien dalam kadaan yang tidak stabil. Kdang kadang dapat terjadi shock dan sering teraba massa pada daerah flank.dapt diertai dengan hematuria.
·           Bila pasien sudah cukup stabil, dapat dilakukan pemeriksaan IVP, dimana terlihat gangguan fungsi ekskresi baik parsial maupun total
·           Ada 2 tipe lesi pada pelvis renalis yaitu trombosis A.Renalis dan avulsi A. Renalis. Angiografi dapat memperlihtkan gambaran oklusi A.Renalis.
·           Viabilitas dari fragmen ginjal dapat dilihat secara angiografi. Arteriografi memperlihatkan 2 fragmen ginjal yang terpisah cukup jauh.fragmen yang viabel akan terlihat homogen karena masih mendapat perfusi cukup baik. Fragmen diantaranya berarti merupaka fragmen yang sudah tidak viable lagi.  

Grade IV
·           Grade IV meliputi avulsi dari ureteropelvic junction.
·           Baik IVP maupun CT Scan memeperlihatkan adanya akumulasi kontras pada derah perinefron tanpa pengisian ureter.
Sebagai kesimpulan, sampai sekarang belum ada pembatasan yang jelas kapan seorang penderita yang diduga trauma ginjal memerlukan IVP atau CT Scan sebagai pemeriksaan penunjangnya. Keputusan tersebut harus didasarkan kepada pemeriksaan manakah yang lebih tersedia.
CT San biasanya diambil sebagai pemeriksaan penunjang pertama pada psien yang mengalami trauma multiple organ intra abdomen, dan  pasien yang diduga trauma ginjal Grade III atau IV.
CT Scan berfungsi sebagai pemeriksaan kedua setelah IVP pada pasien yang pada IVP memperlihtkan gambaran kerusakan luas parenkim ginjal dan pasien yang keadaan umumnya menurun.

Terapi dan Prognosis
Lesi minor, grade 1, biasanya diobati secara konservatif. Pengobatan konservatif tersebut meliputi istirahat di tempat tidur, analgesik untuk menghilangkan nyeri, serta observasi status ginjal dengan pemeriksaan kondisi lokal, kadar hemoglobin, hematokrit serta sedimen urin.
Penanganan trauma ginjal grade 2 masih menimbulkan suatu kontroversi.  Penenganan secara konservatif, seperti yang dipilih oleh kebanyakan dokter, mengandalkan kemampuan normal ginjal untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Penenganan secara operatif biasanya dilakukan apabila pasien tidak memberikan respon positif terhadap pengobatan konservatif, seperti kehilangan darah yang terus bertambah, bertambah besarnya massa pada regio flank,  rasa sakit yang terus menerus dan disertai dengan adanya demam. Pengecualian dari indikasi diatas adalah oklusi pada A. Renalis ( grade 3 ). Tindakan konservatif ini dilakukan untuk menghindari dilakukannya tindakan nephrektomi. Sedangkan dokter yang memilih tindakan operatif secara dini mengemukakan bahwa finsidens terjadinya komplikasi lanjut dapat diturunkan dengan tindakan nephrektomi.
Penanganan trauma ginjal unuk grade 3,4,dan 5 memerlukan tindakan operatif berupa laparotomi.

Komplikasi
Komplikasi  awal: Perdarahan yang masiv sangat sering terjadi, terutama di retroperitoneal. Persisten retroperitoneal persisten atau gross hematuri yang berat, indikasi untuk dilakukan operasi.
Komplikasi lanjut: hypertensi, hydronephrosis, arteriovenous fistula, pembentukan calculus, dan pyelonephritis. renal atrophy dapat muncul dari vascular compromise dan dapat diditeksi dengan urography. Perdarahan yang berat dan lanjut dapat muncul setelah 1-4 minggu.