Mendengar kata HIV memubuat kita menjauh dari  suatu virus dengan 3 huruf tersebut. memang dalam beberapa dekade terakhir HIV telah menjadi momok menakutkan didunia medis dan masyarakat umum. Orang-orang akan menjauh jika ada orang diantara mereka yang “divonis” HIV/AIDS.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan penambahan kasus HIV/AIDS tercepat di Asia. Di Asia Tenggara, laju penambahan kasus di Indonesia adalah yang tercepat. Pada buan Juni 2010, jumah pengidap AIDS sebanyak 21.770 orang tersebar di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota di Indonesia. Jumlah ini meningkat 1.206 kasus dibandingkan triwulan sebelumnya.

Proporisi cara penularan HIV/AIDS tertinggi di Indonesia adalah melalui hubungan heteroseksual (pria dan wanita), yaitu 49,3%. Cara penularan HIV/AIDS lain yang tinggi adalah melalui pengguna NAPZA jarum suntik sebesar 40,4%. Proporsi lain yang lebih rendah adalah LSL (lelaki yang suka berhubungan seks dengan lelaki) dan penularan ibu-bayi pada masa perinatal; masing-masing 3,3% dan 2,7%.urutan cara penularan tersebut berbeda dengan pada dekade laluu saat jalur transmisi terpenting adalah penggunaan narkotika suntik.

Kondisi ini menyebabkan pasangan dari ODHA (orang dengan  HIV/AIDS)ikut berisiko tertular HIV/AIDS; selain itu pasangan dari pengguna narkotika suntik dan pria LSL juga memiliki risiko sangat tinggi tertular HIV/AIDS. Pasangan dari ODHA, pengguna narkotika suntik, dan pria LSL juga merupakan kelompok risiko tinggi; mereka adalah kelompok inferior yang mendapatkan infeksi HIV/AIDS tanpa mengetahuinya, bukan akibat perbuatan yang berisiko tinggi menularkan HIV/AIDS.

Kelihatannya dari data diatas anak-anak bisa terkena HIV/AIDS?
Memang itulah yang terjadi, setiap tahunnya hampir 400 ribu anak-anak tertular virus HIV, kebanyakan berada di negara berkembang atau sedang. Pada tahun 2010, 250.000 anak dibawah usia 15 tahun meninggal karena sebab-sebab terkait HIV.

Dalam berita VOA yang berjudul “PBB Luncurkan Kampanye untuk Akhiri Penularan HIV pada Anak” menyebutkan bahwa para pejabat UNAIDS menjabarkan sekarang ini 3,4 juta anak dibawah usia 15 tahun mengidap HIV. Selain itu,sekitar 42.000 wanita meninggal setiap tahun akibat komplikasi terkait HIV dan kehamilan. Kalau sudah begini bagaimana nasib dari anak yang dikandung ibu penderita HIV/AIDS jika operasi sesar belum menjangkau semua lapisan masyarakat.



Pasangan Risiko Tinggi HIV/AIDS
Dari empat juta pengguna  NAPZA suntik yang hidup dengan HIV/AIDS di Asia, 25-60% telah menikah  atau memiliki pasangan wanita, artinya 25-60% dari empat juta pasangan beriksiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS. Sementara itu, 10 juta wanita pekerja seks dan 75 juta pengguna jasa pekerja seks reguler di Asia, masing-masing juga telah mempunyai pasangan intimnya masing- masing. Dari 16 juta pria LSL di Asian 10-60% pria LSL telah menikah atau memiliki pasangan intim regular.

Survei di India mendapatkan, dari 236 juta pasangan yang menikah pada usia produkti 1,18 juta terinfeksi HIV. Dari jumlah tersebut, terdapat 0,42 juta wanita terinfeksi HIV positif, 1,02 juta pria HIV positif dan 0,26 juta pasangan yang keduanya HIV positif; sekitar satu dari empat pasangan HIV yang telah menikah., keduanya terinfeksi HIV/AIDS. Sebagian besar wanita mendapatkan infeksi dari pasangan atau suaminya yang memiliki perilaku seks bebas atau pernah/sedang  menggunakan narkotika jarum suntik.
Di Indonesia sampai 30 Juni 2010, dari 32 provinsi yang melaporkan data terkait estimasi populasi rawan tertular HIV pada tahun 2009, terdapat total 105.784 pengguna NAPZA suntik dengan pasangan pengguna NAPZA suntik sebanyak 28.085 orang. Pelanggan WPS dan pelanggan warian dilaporkan sejumlah 3.241.244 orang, dengan pasangan pelanggan sejumlah 1.938.650 orang. Berdasarkan data tersebut diperkirakan 2 juta orang di Indonesia memiliki risiko tinggi tertular HIV/AIDS karena merupakan pasangan tetap dari kelompok risiko tinggi. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan data estimasi Depkes dan Biro Pusat Statistik Nasional tahun 2002, bahwa sekitar 7-9 juta laki-laki di Indonesia menggunakan jasa seks dan 50 persennya telah menikah sehingga sekitar 4 juta ibu rumah tangga terancam tertular HIV. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh fenomena gunung es: jumlah orang yang dilaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah sebenarnya.

Berdasarkan estimasi Depkes dan KPAN, jumlah orang dengan HIV dan AIDS di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 193.030 orang, 11% diantaranya merupakan pasangan tetap pengguna NAPZA suntik  dan pengguna jasa pekerja seks komersial, sehingga sekitar 21 ribu pasangan tetap telah hidup dengan HIV/AIDS.
Walaupun saat ini epidemi HIV/AIDS di Indonesia masih dikuasai oleh pengguna narkotika suntik dan pengguna jasa seks komersial, diperkirakan dalam 15 tahun ke depan, prevalensi di kelompok pasangan tetap dari kelompok risiko tinggi juga akan meningkat signifikan.

Pasangan Pelaku Seks Bebas
Pelaku  seks bebas di Indonesia banya terdapat pada kelompok pria berisiko tinggi. Kelompok pria tersebut dapat menjadi jembatan penularan antara WPS (Wanita Pekerja Seks) dengan masyarakat umum. Pekerjaan seperti mengemudi truk, pelaut, tentara, dan pekerja migran  yang sering bermalam di tempat yang jauh dari rumah merupakan kelompok berisiko tinggi. Diperkirakan terdapat 8, 5 juta pria pengguna jasa seks komersial pertahunnya.

Berdasarkan Survei Tepadu Biologis Perilaku (STBP) 2007 terhadap empat kelompok pekerja pria, diketahui bahwa prevalensi HIV di kalangan pria berisiko tinggi sekitar 0,8% di Papua dan 0,0-0,8 % di propinsi lainnya . Sampel yang dipilih adalah supir truk (di Deli Serdang dan Batang), anak buah kapal atau ABK (di Batam, Medan, Semarang, Surabaya), pekerja pelabuhan (di Jakarta, Merauke, Sorong), dan tukang ojek (di Medan, Banyuwangi, dan Jayapura).

Beberapa temuan penting dari survei tersebut, antara lain supir truk dan anak buah kapal merupakan kelompok paling berisiko tinggi tertular HIV yang berasal dari hubungan seksual dengan WPS (wanita pekerja seks). Dari kelompok tersebut, 55-87% berstatus menikah. Pada kelompok kerja yang sama, pria yang berasal dari Papua lebih banyak kontak dengan WPS dan pasangan kasual (pasangan lain yang melakukan hubungan tanpa dibayar) dibandingkan dengan pria yang berasal dari propinsi lain. Penggunaan kondom konsisten pada pria berisiko masih rendah, dan sebagian besar tidak tahu bahwa penggunaan kondom dapat mengurangi risiko penularan HIV. Selain itu, keadaan diperburuk oleh kenyataan bahwa masih sedikit kelompok pria berisiko tinggi yang menjalani tes HIV.

Adanya penyedia jasa seks bebas (WPS) merupakan faktor penting penularan HIV/AIDS terhadap pria berisiko tinggi tersebut; pengetahuan mereka terhadap penggunaan kondom rendah, sama dengan pengetahuan para pria pengguna jasa mereka. Pengetahuan penggunaan kondom tersebut seharusnya lebih disosialisasikan untuk menekan laju penularan HIV/AIDS melalui jalur seksual.

Saat ini studi mengenai kondisi, pengetahuan, dan perilaku dari pasangan tetap pria berisiko tinggi masih sangat minim. Padahal dengan jumlah yang cukup besar tersebut, perhatian juga harus diberikan terhadap para pasangan tetap ini. Perusahaan atau instansi tempat bekerja diharapkan memberikan penyuluhan terhadap pasangan mengenai HIV/AIDS serta cara pencegahannya, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan kedua pasangan. Layanan konseling perubahan
perilaku juga perlu disediakan. Pemeriksaan kesehatan termasuk tes HIV secara rutin perlu diadakan di perusahaan tempat bekerja, berikut juga tindak lanjut yang tepat berupa pengobatan dan skrining bagi pekerja dan keluarganya. Selain itu hal yang sangat penting adalah promosi penggunaan kondom serta akses kondom gratis bagi para pekerja.

Pasangan pengguna narkotika suntik
Pengguna napza suntik (penasun) merupakan kelompok berisiko sangat tinggi terhadap penularan HIV karena perilaku penggunaan jarum suntik secara bergantian. Diperkirakan pada tahun 2006 di Indonesia terdapat 190.000-248.000 penasun. Survei terhadap enam kota di Indonesia mendapatkan 43-56% pengguna NAPZA suntik di empat kota telah terinfeksi HIV dan sebanyak 38-59% dari penasun memiliki pasangan tetap. pengguna NAPZA suntik juga melakukan hubungan seks
dengan banyak orang termasuk di antaranya pasangan tetap, pasangan tidak tetap, dan WPS; dan sebagian besar melakukannya tanpa menggunakan kondom.

Saat ini pemerintah telah menyediakan Program layanan jarum suntik (LJSS) dan program terapi rumatan metadon (PTRM) yang telah mencapai cakupan tinggi di beberapa kota. Progam ini berdampak baik berupa menurunnya pemakaian jarum suntik bergantian. Permasalahan saat ini antara lain masih kurangnya jumlah jarum suntik yang didistribusikan serta cukup banyaknya Pengguna NAPZA suntik yang kembali menyuntik narkotik setelah terapi rumatan metadon. Tes HIV terhadap Pengguna NAPZA suntik juga masih rendah, hanya kurang dari 30% melakukan tes HIV dalam setahun terakhir. Pengetahuan tentang HIV pada Pengguna NAPZA suntik cukup baik tetapi tidak mempengaruhi perilaku Pengguna NAPZA suntik.

Berdasarkan studi lain di tiga kota (Jakarta, Surabaya, Bandung) di Indonesia yang mempelajari perilaku seksual pada penasun, didapatkan bahwa hampir semua pengguna narkotika suntik mengetahui bahwa HIV dapat ditransmisikan lewat pemakaian bersama alat suntik, namun 85% pemakai menggunakan alat suntik secara bersama dalam satu minggu terakhir. Dalam hal ini, pengetahuan mereka tidak berbanding lurus dengan perilaku. Lebih dari dua per tiga aktif secara
seksual, 48% dilaporkan memiliki pasangan seks lebih dari satu dan 40% menggunakan jasa seks komersial dalam satu tahun terakhir. Tetapi hanya 10% yang menggunakan kondom secara
teratur.

Melihat kondisi di atas, di mana prevalensi HIV sangat tinggi pada pengguna NAPZA suntik, perilaku seks yang bebas, dan pemakaian kondom yang masih rendah, risiko terhadap pasangan tetap para penasun terinfeksi HIV/AIDS juga sangat tinggi. Saat ini upaya yang telah ada kurang menjangkau pasangan tetap tersebut, karena itu diperlukan upaya dan perhatian yang lebih besar. Pemberian informasi mengenai HIV/ AIDS terhadap pasangan tetap sangat diperlukan. Para pasangan tetap diharapkan aktif bekerja sama mendukung proses kesembuhan suami/ pasangannya serta aktif melindungi diri dari infeksi HIV dengan skrining dan penggunaan kondom secara teratur. Upaya ini juga perlu mendapat dukungan pemerintah.

Pasangan pria LSL
Lelaki yang suka berhubungan seks dengan lelaki (LSL) juga turut berperan dalam penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Di Indonesia diperkirakan pada tahun 2006 terdapat sekitar 384.320 sampai 1.149.270 LSL, dengan rata-rata 766.800 orang. LSL ini juga berperan dalam penularan terhadap
wanita, sehingga turut menjadi jembatan penghubung penularan virus HIV ke populasi yang lebih luas.

Berdasarkan survei tahun 2006 di enam kota di Indonesia (Medan, Batam, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang). LSL cenderung memiliki banyak partner seks, baik laki-laki maupun
perempuan, dan banyak di antara mereka juga membeli dan menjual seks. Sebanyak 87% LSL melakukan seks kasual dengan pasangan pria, dan 40% dengan pasangan wanita setahun sebelum survei ini. Sepertiga LSL melaporkan memiliki pasangan pria tetap dan 16% memiliki pasangan wanita tetap, dan 22% pasangan tetapnya memiliki pasangan lain. Jaringan ini meningkatkan risiko penularan HIV/ AIDS pada LSL dan pasangannya.

Pengetahuan mengenai kondom di populasi LSL cenderung menengah hingga tinggi. Namun, pengetahuan mengenai HIV secara umum serta pencegahannya melalui penggunaan
kondom masih rendah. Salah satu penyebab kurangnya pengetahuan dan perilaku terkait pencegahan HIV/AIDS adalah masih rendahnya penggunaan layanan konseling HIV/AIDS dan tes
HIV/AIDS di berbagai pelayanan kesehatan. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengapa LSL tidak memanfaatkan layanan tersebut, terkait pula faktor stigma atau perlakuan diskriminatif.

Jaringan LSL yang luas dan rumit menyebabkan jangkauan kepada LSL saat ini masih sangat kurang, hal ini lebih mempersulit jangkauan terhadap pasangan dari LSL tersebut. Kesadaran pribadi pasangan LSL untuk meningkatkan proteksi diri dengan pemakaian kondom sangat diperlukan, begitu pula terhadap layanan konseling dan tes HIV. Tindakan umum pemerintah juga sangat diperlukan, berupa ditingkatkannya pemberian informasi dan pendidikan mengenai HIV/AIDS serta
adanya perlindungan hukum yang jelas terhadap hak wanita.

Dari epidemiologi yang telah dipaparkan secara panjang lebar, sudah semestinya kita mulai waspada terhadap terjadinya HIV/AIDS, walaupun bukan berarti kita harus menjauhi orang dengan HIV/AIDS.



Bagaimana H Virus HIV dapat menginfeksi manusia?

Penyebab Human Immuno-defi ciency Virus (HIV) adalah virus RNA famili Retrovirus, subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal 2 serotipe HIV yaitu HIV-1 sebagai penyebab sindrom defi siensi imun (AIDS) dan HIV-2 yang dikenal sebagai Lymphadenopathy Associated Virus type-2 (LAV-2).Secara morfologik HIV-1 berbentuk bulat dan terdiri dari inti (core) dan selubung(envelope). Inti tersusun dari protein genom RNA dan enzim reverse transcriptase yang membuatnya mampu memperbanyak diri secara khusus, sedangkan selubung terdiri dari suatu glikoprotein.



Pada awal perjalanan infeksi HIV terjadi invasi cepat dan replikasi virus dalam jaringan limfoid saluran cerna (GALT = Gut Associated Lymphoid Tissue) diperantarai integrin α4β7 yang merupakan reseptor homing sel T. Ikatan protein gp120HIV dengan reseptor integrin α4β7 sel T-CD4 akan memicu pembentukan formasi sinaps dengan sel berdekatan yang memudahkan penyebaran HIV dari sel ke sel secara efi sien.Terjadi penyebaran HIV langsung ke jaringan limfoid saluran cerna. Selanjutnya HIV akan memediasi deplesi sel T-CD4 sehingga terjadi disfungsi sistem imun. Kemampuan virus untuk berikatan dengan integrin α4β7 akan menentukan besarnya dampak terhadap jaringan limfoid saluran cerna dan deplesi sel T-CD4.


Reproduksi virus terjadi secara cepat dalam 2-6 minggu sesudah pajanan, menimbulkan gejala klinis menyerupai penyakit mononukleosis akut (acute mononucleosis like illness) seperti demam, nyeri kepala, lesu, ruam kulit, dan limfadenopati. Masa inkubasi berkisar 17-35 hari dan gejala klinis berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Gejala klinis infeksi primer tidak terlihat pada bayi mungkin karena transmisi prenatal, perbedaan beban transmisi virus atau fenotip atau karena imaturitas responimun. Selain itu bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV telah mempunyai antibodi
spesifi k HIV yang dapat mengurangi gejala klinis.


Fase penyakit akut berhubungan dengan tingginya viremia dan luasnya penyebaran virus terutama ke jaringan limfoid dan organ lain seperti SSP, ditandai dengan ditemukannya RNA HIV yang dapat  mencapai kadar 1.000.000 kopi virus/mL dan antigenemia p24. Beban virus (viral load) yang tinggi ini menetap dalam jangka panjang pada anak yang terinfeksi pada masa prenatal sehingga virologic point pada anak cenderung lebih tinggi.


Dalam 1-2 minggu akan terbentuk respon imun CTL dan antibodi, terjadi penurunan dramatis viral load. Hal ini berhubungan juga dengan terperangkapnya kompleks imun virus-antibodikomplemen
dalam sel dendrit folikular (FDC). Dengan menurunnya virus dalam sirkulasi, dapat terjadi pemulihan
parsial hitung sel T-CD4. Konsentrasi plasma virus pada akhir fase akut merupakan set point yang berhubungan dengan perjalanan penyakit infeksi HIV. Set point yang tinggi berhubungan dengan cepatnya perjalanan penyakit.


Fase laten asimptomatik pada dewasa dapat bertahun-tahun setelah infeksi primer. Pada sebagian anak umumnyafase laten lebih singkat atau tanpa fase laten sama sekali dengan kerusakan progresif sel T-CD4 dan jaringan sel FDC kelenjar limfoid.




Pengobatan HIV/AIDS dan Pencegahannnya?

Rekomendasi antiretroviral menggunakan 2 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) + Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Langkah:
·         Pilih 1 NRTI untuk dikombinasi dengan 3 TC
·         Pilih NNRTI
Golongan NRTI
·         Zidovudine (AZZT)
·         Stavudin (d4T)
Golongan NNRTI
·         Nevirapin
·         Efavirenz


Tetapi sepertinya sudah terdapat penelitian terbaru untuk penggunaan obat pencegahan yang baru saja ditemukan seperti yang dilaporkan VOA berjudul “Orang Sehat Bisa Gunakan Obat AIDS untuk Pencegahan AIDS”  tanggal 27 Mei 2012 dan “Pil Truvada Diyakini Bisa Cegah Penularan HIV” yang diberitakan tanggal 16 Mei 2012.

Pil Truvada  sudah didukung oleh Komisi Penasihat Obat-obatan Antivirus pada Badan Pengawas Obat-obatan dan Pangan (Food and Drugs Administration  /FDA). Seperti yang dikemukakan oleh Mitchell Warren, ketua kelompok advokasi AIDS, AVAC bahwa pil Truvada terdiri dari dua obat antiretroviral yang berbeda yaitu tenofir dan emtrisitabin.



Untuk pertamakalinya FDA mempertimbangkan sebuah pil untuk  mencegah HIV. Data yang diperoleh berasal dari sejumlah ujiciba untuk melihat kemungkinan manfaat pil Truvida kepada orang yang tidak terinfeksi HIV, akan tetapi berisiko terkena HIV dengan harapan bisa mencegah penularan virus itu.

“Jika orang berisiko terkena atau merasa terkena HIV, minum pil ini setiap hari sebagai bagian dari beerbagai usaha pencegahan, termasuk pemeriksaan rutin HIV, orang bisa banyak mengurangi risiko penularan. Ini merupakan langkah besar ke depan dalam menambah opsi baru bagi laki-laki dan perempuan untuk mencegah HIV,” tambah Warren.

Seperti yang sudah diketahui di bidang medis, penderita HIV/AIDS tidak segera diobati setelah mereka tertular. Sebaliknya, prosedur yang umum adalah menunggu sampai ssel kekebalan yang biasa diserang oleh virus HIV yaitu CD4 mencapai tingkat tertentu atau gejala lain mulai terjadi.

Oleh karena masalah inilah, para peneliti di Universitas Amsterdam menduga bahwa dengan memulai pengobatan singkat segera seelah penularan HIV diidentifikasi justru akan mempersiapkan sistem kekebalan tubuh penderita untuk melawan virus.
Peneliti Marlous Grijsen mengatakan bahwa mereka yang langsung diberi obat tidak mengalami efek samping yang signifikan.

Para peneliti menunggu sampai pedoman standar mengatakan pasien harus memulai pengobatan antiretroviral, berdasarkan jumlah CD4 yang rendah, misalnya, yang menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh penderita melemah ke tingkat yang lebih berbahaya.

Kelompok yang tidak langsung mendapatkan obat setelah tertular membtuhkan antiretroviral sekitar delapan bulan kemudian. Sementara kedua kelompok yang diberi obat mampu menunda pengobatan kembali antara satu sampai dua setengah tahun.

Peneliti lain, Jan Prins, mengatakan pengobatan dini itu membantu mengekang virus.

Penderita yang mendapat pengobatan dini terbukti memiliki respon yanglebih baik melawan HIV. Jumlah virus dalam darah lebih rendah pada penderita yang diobati lebih dini.

Sepertinya pil Truvada telah menjadi harapan baru dalam mencegah terjadinya HIV/AIDS. FDA mengharuskan perusahaan pembuat obat itu, Gilead, melakukan evaluasi efek samping dan strategi untuk menguranginya. Ini akan membantu menjamin keamanan dan kemanjuran penggunaan Truvada, termasuk penyuluhan ekstensif bagi para petugas kesehatan dan uji coba untuk memastikan orang memang tidak tertular HIV sebelum meminum pil itu.

Para peneliti menambahkan bahwa penderita yang memulai pengobatan antiretroviral sementara membutuhkan waktu pengobatan lebih singkat dan lebih murah.

Maka dari itu sebelum mengantisipasi adanya penularan HIV/AIDS maka pihak berwenang di federal Amerika didesak untuk menyetujui pengetesan HIV di rumah. Hal ini termuat dalam berita VOA tanggal 27 Mei 2012 “Pakar Anjurkan Penggunaan Alat Tes HIV di Rumah” , mungkin hal ini membantu terhadap  pencegahan penularan HIV/AIDS dengan menggunakan alat tes yang dinamakan Ora Quick. Alat ini memiliki hasil intrepetasi dengan benar pada 93% penderita HIV.

OraQuick menggunakanalat yang digosokkan di mulut dan hasilnya diperoleh dalam waktu 20 menit.



Seperti daftar epidemiologi yang sudah dijelaskan diatas, anak-anak termasuk kelomok rentan terjadinya HIV/AIDS karena penularan dari ibu. Maka dari itu Pertmuan Tingkat Tinggi PBB mengenai AIDS meluncurkan kampanye Believe It. Do It dalam berita VOA yang berjudul “PBB Luncurkan Kampanye untuk Akhiri Penularan HIV pada Anak”.  Hal ini bertujuan untuk mengakhiri penularan HIV pada anak-anak pada tahun 2015.


Kampanye Believe It. Do It diluncurkan menjelang Hari Ibu, dengan gagasan bahwa setiaphari adalah hari Ibu.Partisipannya mencakup seluruh negara, baik maju maupun berkembang.

Penasihat senior dari UNAIDS mengenai kesehatan ibu dan anak mengatakan bahwa sudah ada pengetahuan, keterampilan dan sumberdaya yang memadai untuk mengakhiri sebagian besar penularan HIV dari ibu ke anak. Ia mengatakan tanpa obat retroviral, tingkat penularan HIV dariibu ke bayi pada ersalinan mencapi 40 persen. Dengan perawatan menggunakan obat antiretroviral , angka tersebut turun menjadi hanya 2 persen.

Direktur Eksekutif UNAIDS Michel Sidibe menyabut Rencana Global untuk mengakhiri penularan HIV pada anak-anak merupakan peluan yang luar biasa, tetapi ia memperingatkan bahwa dukungan masyarakat sangat diperlukan.


Strategi pencegahan pada pasangan tetap ODHA di Indonesia
Berdasarkan data di atas, pasangan dari orang yang berisiko tinggi terkenaHIV/AIDS merupakan kelompok risiko tinggi tertular HIV/AIDS. Jumlah mereka sangat besar secara epidemiologiSosialisasi dan perlindungan terhadap kelompok ini sangatlah penting. Sayangnya, perhatian terhadap kelompok “ibu rumah tangga” dan “istri tanpa perilaku risiko tinggi” masih sangat kurang. Selama ini sebagian besar kegiatan promosi kesehatan banyak berfokus pada pelaku seks bebas dan pengguna narkotika suntik. Dengan demikian, tingkat kewaspadaan kelompok pasangan tetap masih sangat rendah.

Beberapa strategi dapat dilaksanakan untuk menekan angka penularan HIV/AIDS pada kelompok pasangan. Beberapa di antaranya mirip dengan strategi pencegahan seks bebas pada umumnya. Dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah, LSM (lembaga swadaya masyarakat), klinisi, ahli kesehatan masyarakat, dan tokoh masyarakat sangat diperlukan untuk menyadarkan kelompok pasangan agar mewaspadai penularan melalui pasangannya.

Saat ini, sudah dikeluarkan rencana strategis (2003-2007) dan rencana aksi nasional (2007-2010, 2010-2014) dalam rangka menekan laju penyebaran HIV/ AIDS di Indonesia. Di dalam strategi tersebut, perhatian ditujukan bagi pelaku primer penularan HIV/AIDS, yaitu pelaku seks bebas, pemakai jarum suntik, dan LSL. Beberapa program yang sudah ada, antara lain pencegahan penularan melalui alat suntik (layanan alat suntik steril atau LASS), terapi rumatan metadon, programprogram di lembaga pemasyarakatan pencegahan penularan melalui transmisi seksual melalui promosi kondom dan layanan infeksi menular seksual, program pencegahan penularan HIV
melalui ibu ke bayi (PMTCT), konseling dan testing sukarela (voluntary counseling and testing), dan program perawatan dukungan dan pengobatan.

Meskipun beberapa strategi yang disebutkan di atas memiliki efek tidak langsung terhadap pasangan tetap para pelaku primer, namun belum ada program yang secara spesifi k ditujukan langsung bagi populasi tersebut. Padahal, diperkirakan jumlah populasi pasanganakan meningkat secara signifi kan.

Hal ini menuntut agar populasi tersebut mendapatkan program-program serta kebijakan yang lebih efektif. Beberapa strategi yang dapat disarankan untuk mencegah dan menurunkan penularan HIV/AIDS pada pasangan orang berisiko tinggi adalah sebagai berikut:

1. Strategi yang merupakan prioritas sampai saat ini memang melakukan pencegahan penyebaran HIV terutama terhadap kelompokkelompok berisiko tinggi seperti pekerja seks, pengguna narkotika
suntik, serta LSL, dengan memperluas dan memperkuat strategi untuk turut mencapai pasangan tetap mereka. Peraturan penggunaan kondom harus diperketat, melihat data penggunaan kondom
yang masih sangat minim. Terutama di tempat-tempat yang berpotensi menjadi penjualan jasa seks, harus disediakan kotak kondom gratis dengan kualitas kondom yang baik. Pemerintah juga harus membuat regulasi publik mengenai penggunaan kondom ini terutama pada kelompok yang berisiko tinggi tersebut dan juga pasangannya. Selain peraturan yang tegas juga diperlukan pendidikan dan informasi khususnya pada kelompok risiko tinggi tersebut mengenai bahaya penularan HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya dan bagaimana cara pencegahan serta pemeriksaan dini. Perlu juga dilakukan pelatihan bagaimana cara pemasangan kondom yang benar, karena diketahui tingginya tingkat kebocoran kondom pada populasi tersebut yang cukup tinggi yang dapat mengakibatkan semakin besarnya penularan.


2. Pendidikan, pelatihan serta pemberian informasi sebaiknya juga dilakukan ke masyarakat luas, misalnya diikutkan dalam kurikulum pendidikan nasional di kalangan remaja dan dewasa muda (pendidikan seksual di SD, SMP, atau SMA). Hal ini diperlukan karena saat ini pendidikan seksual belum dimasukan ke dalam kurikulum secara nasional. Atau melalui media elektronika mengenai HIV/AIDS termasuk sosialisasi penggunaan pengaman (kondom). Data UNAIDS menyatakan bahwa penggunaan kondom terbukti sebagai satu-satunya cara mencegah transmisi infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS. Penggunaan kondom juga dapat hampir 100% mencegah transmisi infeksi menular seksual, di samping abstinen (tidak melakukan hubungan).
Perlu diingat bahwa tingginya jenjang pendidikan dan kelas sosialekonomi, tidak menjamin sedikitnya penggunaan jasa pekerja seks komersial; penelitian di Hanoi, Vietnam menunjukkan makin tinggi status sosial pria di masyarakat, makin tinggi frekuensi menggunakan jasa pekerja seks komersial. Tetapi angka penggunaan kondom pria mapan lebih tinggi daripada siswa dropout sekolah (84% berbanding 63%).


3. Layanan pemerintah untuk pasien-pasien ODHA seperti Layanan Konseling & Tes Sukarela (VCT),
Pelayanan, Dukungan & Perawatan (CST), Layanan Infeksi Menular Seksual (IMS), Layanan Alat Suntik Steril (LASS), Layanan Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), serta layanan lainnya baik dari pemerintah atau non-pemerintah, juga menjaring pasangan pasien ODHA terutama dalam hal edukasi dan informasi terutama mengenai pentingnya pencegahan penularan misalnya dengan menggunakan kondom secara teratur, mendapatkan akses kondom gratis, serta saran untuk melakukan pemeriksaan gratis.


4. Perlunya Undang-Undang praktik kedokteran yang melindungi para pasangan tetap penderita ODHA: pasangan tetap berhak mengetahui status ODHA pasangannya; dokter seharusnya memberitahukan masalah ini ke pasangannya.


5. Skrining penyakit infeksi menular seksual pranikah (atau prahubungan seksual). Skrining memiliki efektivitas sangat baik dalam mencegah penularan penyakit infeksi menular seksual; namun kelemahannya adalah tindak lanjut jika hasil skrining positif. Dapat timbul masalah, baik dalam hubungan antara pasangan, maupun keluarga masing-masing. Melalui skrining, dapat diketahui penyakit-penyakit menular yang diidap pasangan, misalnya HIV/ AIDS, hepatitis B, hepatitis C, gonorea, dan sifilis.

6. Pentingnya keterlibatan perusahaan tempat kerja para pekerjarisiko tinggi seperti supir truk, pelaut, tentara, dan lainnya, untuk menyediakan program khusus di tempat kerjanya yang menjangkau pasangan. Di antaranya meliputi penyuluhan/seminar terhadap pekerja dan pasangan mengenai HIV/AIDS serta infeksi menular seksual, pelayanan konseling perubahan perilaku, tes HIV dan pemeriksaan kesehatan secara rutin, promosi dan layanan kondom gratis, serta konsultasi dengan dokter keluarga atau bidan menyangkut masalah reproduksi. Data MAP (Monitoring of AIDS Pandemic), mendapatkan 40-70% pria pengguna jasa seks adalah pria yang memiliki pasangan tetap. Hal ini membuat penularan HIV/AIDS menjadi cukup tinggi pada pasangan dari pria risiko tinggi tersebut.


7. Kewaspadaan dini dan tindakan aktif dari pasangan tetap para pelaku risiko tinggi (pelaku seks bebas, pengguna narkoba suntik, dan pria LSL). Kurangnya program dari pemerintah memerlukan kewaspadaan dari pasangan untuk melindungi diri terhadap infeksi HIV/AIDS, dengan menggunakan kondom secara rutin, mencari informasi secara aktif, pemeriksaan kesehatan, dengan tetap meningkatkan komunikasi dan dukungan terhadap pasangannya.


8. Pemeriksaan kesehatan dan penyakit menular bagi mantan pengguna narkotika suntik dan pelaku seks bebas. Pemeriksaan diri sendiri wajib dilakukan oleh setiap orang yang pernah terlibat, baik dalam kegiatan seks bebas, narkotika jarum suntik, LSL, mantan penghuni penjara, asrama, atau barak di mana orang-orang berisiko tinggi terkena penyakit menular seksual.

Sampai saat ini, belum ada program atau undang-undang pemerintah Indonesia yang secara tegas melindungi para pasangan tetap orang-orang berisiko tinggi dari risiko penularan HIV/AIDS. Undang-undang yang telah ada saat ini adalah mengenai usia pernikahan yang legal secara hukum, HAM, serta kesetaraan gender yang hanya digambarkan secara umum. Selain itu belum ada undang-undang khusus mengenai tes HIV, diagnosis, pengobatan, serta perawatan terhadap penderita HIV. Sebagai saran, perlu integrasi berbagai bidang terkait (pemerintah, klinisi, ahli kesehatan masyarakat, ahli hukum, tokoh masyarakat, tokoh agama, sosiolog) untuk merumuskan rekomendasi dan perlindungan bagi pasangan tetap orang berisiko HIV/AIDS. Penelitian efektivitas masing-masing strategi juga perlu dilakukan untuk mengetahui prioritas program pencegahan penularan HIV/AIDS terhadap pasangan tetap.



Kesimpulan

Pasangan tetap ODHA adalah kelompok risiko tinggi tertular HIV/AIDS. Saat ini, kelompok tersebut tidak menjadi sasaran promosi kesehatan, meskipun jumlahnya semakin bertambah. Perhatian pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan klinisi hanya terpusat pada pelaku seks bebas dan pengguna narkotika jarum suntik. Beberapa contoh mereka adalah pasangan tetap pelaku seks bebas, pasangan tetap pengguna narkotika jarum suntik, dan pasangan tetap pria LSL. Masing- masing kelompok memiliki peluangnya sendiri-sendiri dalam tertular HIV/AIDS. Beberapa strategi ke depan untuk mencegah penularan HIV/ AIDS adalah skrining infeksi menular seksual pranikah atau pra-hubungan seksual, pendidikan seksual, sosialisasi penggunaan pengaman (kondom) saat berhubungan seksual, keterlibatan perusahaan dengan pekerja risiko tinggi, kewaspadaan dini pasangan, pemeriksaan kesehatan berkala, dan pendidikan/kursus pranikah. Permasalahan pasangan tetap ODHA merupakan tanggung jawab pemerintah, klinisi, ahli kesehatan masyarakat, serta tokoh agama dan masyarakat.

Di masa depan, kita wajib memikirkan inovasi strategi untuk mencegah penularan bagi kelompok ini. Penelitian mengenai kondisi, pengetahuan, perilaku, dan hal-hal lain terkait stigma serta perlakuan terhadap para pasangan tetap perlu dilakukan. Selain itu, penelitian mengenai efektivitas masing-
masing strategi perlu dilakukan sebagai bahan evaluasi program kesehatan di berbagai golongan tertentu (misalnya pada suku atau budaya tertentu, atau agama tertentu).


Peraturan mengenai hak dan kewajibanuntuk mendapat informasi medis berkaitan dengan diri dan pasangannya perlu dibuat agar menjamin kebebasan tenaga kesehatan dalam menyampaikan informasi penyakit menular seksual yang diidap oleh salah satu pasang. Selain itu, hal yang juga penting adalah perlu dibuatnya peraturan perundang-undangan yang secara tegas melindungi para pasangan tetap ODHA di Indonesia.


 Ya dengan beberapa penemuan dibidang pengobatan, kampanye Believe It.Do It, dan strategi pencegahan dini HIV/AIDS dapat terwujud dan mewujudkan masyarakat dunia yang sehat dan bebas dari HIV/AIDS.




Sumber:

Noviani Sugiarto. Penyebaran HIV/AIDS pada Pasangan ODHA di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran Januari-Februari 2011.

Yuly. Aspek Klinis HIV. Cermin Dunia Kedokteran Januari-Februari 2011.

Orang sehat Mungkin Bisa Gunakan Obat AIDS untuk Pencegahan AIDS, 27 Mei 2012 VOA Indonesia

Pakar Anjurkan Penggunaan Alat Tes HIV di Rumah, 27 mei 2012 VOA Indonesia

PBBLuncurkan Kampanye untuk Akhiri Penularan HIV pada Anak, 27 Mei 2012 VOA Indonesia

Pengobatan Dini Bantu Persiapkan Sistem Kekebalan Tubuh, 27 Mei 2012 VOA Indonesia

Pil Truvada Bisa Cegah Penularan HIV, 16 Mei 2012 VOA Indonesia


Osteoartitis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif, dimana keseluruhan struktur dari sendi mengalami perubahan patologis.
Ditandai dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin sendi, meningkatnya ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan osteofit pada tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan, dan melemahnya otot–otot yang menghubungkan sendi.


Patogenesis Osteoartritis

Berdasarkan penyebabnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer dan OA sekunder. OA primer, atau dapat disebut OA idiopatik, tidak memiliki penyebab yang pasti ( tidak diketahui ) dan tidak disebabkan oleh penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder, berbeda dengan OA primer, merupakan OA yang disebabkan oleh inflamasi, kelainan sistem endokrin, metabolik, pertumbuhan, faktor keturunan (herediter), dan immobilisasi yang terlalu lama. Kasus OA primer lebih sering dijumpai pada praktik sehari-hari dibandingkan dengan OA sekunder.

Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan tidak dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang penyebabnya masih belum jelas diketahui. Kerusakan tersebut diawali oleh kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa mekanisme lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera.

Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu : Kapsula dan ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang di dasarnya . Kapsula dan ligamen-ligamen sendi memberikan batasan pada rentang gerak (Range of motion) sendi.

Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada permukaan sendi sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang disebut dengan lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cedera dan peradangan pada sendi.

Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu mekanoreseptor yang tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik yang dikirimkannya memungkinkan otot dan tendon mampu untuk memberikan tegangan yang cukup pada titik-titik tertentu ketika sendi bergerak.

Otot-otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah inti dari pelindung sendi. Kontraksi otot yang terjadi ketika pergerakan sendi memberikan tenaga dan akselerasi yang cukup pada anggota gerak untuk menyelesaikan tugasnya. Kontraksi otot tersebut turut meringankan stres yang terjadi pada sendi dengan cara melakukan deselerasi sebelum terjadi tumbukan (impact). Tumbukan yang diterima akan didistribusikan ke seluruh permukaan sendi sehingga meringankan dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago memiliki fungsi untuk menyerap goncangan yang diterima.

Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan sendi sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika bergerak. Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai penyerap tumbukan yang diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum timbulnya OA dapat terlihat pada kartilago sehingga penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang kartilago.

Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen tipe dua dan Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul – molekul aggrekan di antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul proteoglikan yang berikatan dengan asam hialuronat dan memberikan kepadatan pada kartilago.

Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular, mensintesis seluruha elemen yang terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim pemecah matriks, sitokin { Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF)}, dan faktor pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan enzim tersebut akan merangsang kondrosit untuk melakukan sintesis dan membentuk molekul-molekul matriks yang baru. Pembentukan dan pemecahan ini dijaga keseimbangannya oleh sitokin faktor pertumbuhan, dan faktor lingkungan.

Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk memecah kolagen tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang dikelilingi oleh kondrosit. Namun, pada fase awal OA, aktivitas serta efek dari MPM menyebar hingga ke bagian permukaan (superficial) dari kartilago.

Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi pergantian matriks, namun stimulaso IL-1 yang berlebih malah memicu proses degradasi matriks. TNF menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG), oksida nitrit (NO), dan protein lainnya yang memiliki efek terhadap sintesis dan degradasi matriks. TNF yang berlebihan mempercepat proses pembentukan tersebut. NO yang dihasilkan akan menghambat sintesis aggrekan dan meningkatkan proses pemecahan protein pada jaringan. Hal ini berlangsung pada proses awal timbulnya OA.

Kartilago memiliki metabolisme yang lamban, dengan pergantian matriks yang lambat dan keseimbangan yang teratur antara sintesis dengan degradasi. Namun, pada fase awal perkembangan OA kartilago sendi memiliki metabolisme yang sangat aktif.

Pada proses timbulnya OA, kondrosit yang terstimulasi akan melepaskan aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke kartilago dan cairan sendi. Aggrekan pada kartilago akan sering habis serta jalinan-jalinan kolagen akan mudah mengendur.




Diagnosis Osteoartirits
Diagnosis OA didasarkan pada gambaran klinis yang dijumpai dan hasil radiografis.


Tanda dan Gejala Klinis
Pada umumnya, pasien OA mengatakan bahwa keluhan-keluhan yang dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan Berikut adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA :

Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan dan tertentu terkadang dapat menimbulkan rasa nyeri yang melebihi gerakan lain. Perubahan ini dapat ditemukan meski OA masih tergolong dini ( secara radiologis ). Umumnya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit sampai sendi hanya bias digoyangkan dan menjadi kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris ( seluruh arah gerakan ) maupun eksentris ( salah satu arah gerakan saja ).

Kartilago tidak mengandung serabut saraf dan kehilangan kartilago pada sendi tidak diikuti dengan timbulnya nyeri. Sehingga dapat diasumsikan bahwa nyeri yang timbul pada OA berasal dari luar kartilago.

Pada penelitian dengan menggunakan MRI, didapat bahwa sumber dari nyeri yang timbul diduga berasal dari peradangan sendi ( sinovitis ), efusi sendi, dan edema sumsum tulang.

Osteofit merupakan salah satu penyebab timbulnya nyeri. Ketika osteofit tumbuh, inervasi neurovaskular menembusi bagian dasar tulang hingga ke kartilago dan menuju ke osteofit yang sedang berkembang Hal ini menimbulkan nyeri.

Nyeri dapat timbul dari bagian di luar sendi, termasuk bursae di dekat sendi. Sumber nyeri yang umum di lutut adalah aakibat dari anserine bursitis dan sindrom iliotibial band.



Hambatan gerakan sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan dengan pertambahan rasa nyeri.


Kaku pagi
Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari.


Pembesaran sendi ( deformitas )
Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar.


Pembengkakan sendi yang asimetris
Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak ( < 100 cc ) atau karena adanya osteofit, sehingga bentuk permukaan sendi berubah.


Tanda – tanda peradangan
Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan ) dapat dijumpai pada OA karena adanya synovitis. Biasanya tanda – tanda ini tidak menonjol dan timbul pada perkembangan penyakit yang lebih jauh. Gejala ini sering dijumpai pada OA lutut.


Perubahan gaya berjalan
Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA, terlebih pada pasien lanjut usia. Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan terutama pada OA lutut.


Pemeriksaan Diagnostik
Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada sendi yang terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik. Gambaran Radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah :
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih berat pada bagian yang menanggung beban seperti lutut ).
b. Peningkatan densitas tulang subkondral ( sklerosis ).
c. Kista pada tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi.
Berdasarkan temuan-temuan radiografis diatas, maka OA dapat diberikan suatu derajat. Kriteria OA berdasarkan temuan radiografis dikenal sebagai kriteria Kellgren dan Lawrence yang membagi OA dimulai dari tingkat ringan hingga tingkat berat. Perlu diingat bahwa pada awal penyakit, gambaran radiografis sendi masih terlihat normal.


Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna. Pemeriksaan darah tepi masih dalam batas – batas normal. Pemeriksaan imunologi masih dalam batas – batas normal. Pada OA yang disertai peradangan sendi dapat dijumpai peningkatan ringan sel peradangan ( < 8000 / m ) dan peningkatan nilai protein.


Penatalaksanaan Osteoartritis
Pengeloaan OA berdasarkan atas sendi yang terkena dan berat ringannya OA yang diderita. Penatalaksanaan OA terbagi atas 3 hal, yaitu :


Terapi non-farmakologis
a. Edukasi
Edukasi atau penjelasan kepada pasien perlu dilakukan agar pasien dapat mengetahui serta memahami tentang penyakit yang dideritanya, bagaimana agar penyakitnya tidak bertambah semakin parah, dan agar persendiaanya tetap terpakai.


b. Terapi fisik atau rehabilitasi
Pasien dapat mengalami kesulitan berjalan akibat rasa sakit. Terapi ini dilakukan untuk melatih pasien agar persendianya tetap dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit.


c. Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebih merupakan faktor yang memperberat OA. Oleh karena itu, berat badan harus dapat dijaga agar tidak berlebih dan diupayakan untuk melakukan penurunan berat badan apabila berat badan berlebih.


Terapi farmakologis
Penanganan terapi farmakologi melingkupi penurunan rasa nyeri yang timbul, mengoreksi gangguan yang timbul dan mengidentifikasi manifestasi-manifestasi klinis dari ketidakstabilan sendi.

a. Obat Antiinflamasi Nonsteroid ( AINS ), Inhibitor Siklooksigenase-2 (COX-2), dan Asetaminofen
Untuk mengobati rasa nyeri yang timbul pada OA lutut, penggunaan obat AINS dan Inhibitor COX-2 dinilai lebih efektif daripada penggunaan asetaminofen. Namun karena risiko toksisitas obat AINS lebih tinggi daripada asetaminofen, asetaminofen tetap menjadi obat pilihan pertama dalam penanganan rasa nyeri pada OA. Cara lain untuk mengurangi dampak toksisitas dari obat AINS adalah dengan cara mengombinasikannnya dengan menggunakan inhibitor COX-2.


b. Chondroprotective Agent
Chondroprotective Agent adalah obat – obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan dari kartilago pada pasien OA. Obat – obatan yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, dan sebagainya.


Terapi pembedahan
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari – hari.
























Apa yang bayangkan jika melihat kincir angin, bunga tulip, negeri ratu  beatrix, dan kota-kota yang berakhiran dam dam dam. Yo.... siapa yang tidak mengetahui dengan negeri Belanda. Salah satu negeri kecil-kecil cabe rawit yang telah menelurkan berbagai inovasi ke seluruh penjuru dunia. Sepeda yang menjadi ciri khas negeri ini sehingga mengurangi polusi yang dapat merusak kesehatan, teknologi perbankan chipknip hingga masuk meraih pengharagaan Nobel. Wow........ negeri mana yang tidak mau mendapat penghargaan nobel. Pasti penduduk negeri Belanda bangga punya orang dengan otak-otak encer seperti ini.

Memang Belanda dengan sejuta kejutan tidak hanya berinovasi untuk membuat susu keju atau kincir angin, berbagai hadiah nobel dibidang kedokteran, fisika, kimia bahkan perdamaian diraih oleh negeri dengan penduduk 17 juta orang menurut CBS tahun 2050. Lho kok bisa?

Jangan tanya saya mengenai hal ini, perlu tanya orang Belanda langsung hehe. Tapi itulah kenyataannya, Belanda termasuk negeri dengan meraih 10 besar penghargaan nobel. Perlu 10 jempol kalau negeri Belanda memang salah satu negeri dengan inovasi yang luar biasa. Tapi rasanya jempol tangan saya tidak cukup banyak, coba kalau jari tangan saya jempol semua, kuangkat semuanya.

Nama-nama hebat yang pernah singgah di Indonesia salah satunya adalah Christiaan Eijkman, seorang putra dari kepala sekolah yang menemukan penyebab penyakit beri-beri pada waktu melakukan tugasnya di Hindia Belanda. Dia menemukan bahwa pericarpium-kulit ari beras dapat mencegah penyakit beri-beri. Nah hebat kan...
Ada juga yang lainnya, misalnya Willem Einthoven yang lahir 1860-an di Semarang. Dia menemukan peralatan elektrokardiografi yang berperan dalam dunia medis terutama mengenai jantung. Dengan penemuan alat EKG berbagai penyakit jantung dapat didiagnosis dengan lebih mudah.

Satu lagi dibidang kedokteran, ada Nikolaas Tinbergen yang meneliti berbagai perilaku binatang yang dengan metodenya diterapkannya untuk menangani gejal autisme pada anak. Kok sejak tadi saya bicara mengenai peraih nobel dari Belanda dibidang kedokteran ya? Maklum mahasiswa kedokteran.

Tapi lebih dari beberapa orang yang telah sebagian dipaparkan diatas masih ada beberapa orang Belanda yang meraih penghargaaan Nobel seperti Nicholas Bloembergen di bidang fisika,Paul Crutzen di bidang kimia Tjalling Koopmans di bidang Ekonomi dan masih banyak lagi yang lain.

Kelihatannya pendidikan yang baik dan dukungan dari semua penduduk dari negeri Belanda mendorong berbagai inovasi diberbagai bidang kehidupan. Negeri ini pantas untuk menjadi contoh bagi negara lain jika menginginkan penduduknya maju dalam berbagai bidang kehidupan.

Seperti kata Sir Francis Bacon, bahwa Knowledge is Power kelihatannya melekat dengan keadaan negeri Belanda, dengan berbagai inovasi teknologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki digunakan secara sebesar-besarnya demi kepentingan masyarakat. Ilmu pengetahuan yang luas dimilki oleh Belanda telah mengantarkan negeri ini meraih pengahargaan nobel, siapa tahu kedepan akan lebih banyak inovasi yang tercipta dari negeri kincir angin ini sehingga berguna bagi penduduk negara ini maupun seluruh penduduk bumi.

Bagaimana dengan negara saya? Semoga saya juga menjadi agen perubahan seperti  Christiaan Eikjman dan Einthoven suatu saat nanti.
Sampai jumpa. Tot straks





Demam dengue (dengue fever/DF) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, lifadenopati, dan trombositopenia. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokosentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok yang dapat menyebabkan kematian.


Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm, bulat, terdiri dari RNA tunggal dengan berat molekul 4×10Da.

Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak dibandingkan dengan yang lain. Namun, ada yang mengatakan serotipe DEN-2 lebih bersifat virulen.

Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik Barat, dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayahnya. Insiden DBD di di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989-1995); dan pernah meningkat tajam hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.

Peningkatan kasus tiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya).

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu: 1) vektor: perkembangbiakan, kebiasaan menggigit, kepadatan di lingkungan, jenis serotipe, transportasi dari satu tempat ke tempat lain. 2) pejamu: terdapat penderita di lingkungan keluarga, paparan terhadap nyamuk, status gizi, usia (>12 tahun cenderung untuk DBD) dan jenis kelamin (perempuan > laki-laki). 3) lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.

Penularan infeksi virus dengue terjadi mellaui vektor nyamuk genus Aedes (Ae. aegypti dan Ae. albopictus). Dari kedua nyamuk ini yang paling dominan untuk menjadi vektor adalah Ae. aegypti. Nyamuk betina paling sering mencari makanan pada siang hari.

Manusia merupakan hospes primer. Ketika nyamuk ini membawa virus setelah menghisap darah dari pasien. Virus dengue dengan mudah dapat ditularkan jika nyamuk tersebut menghisap darah orang lain. Hal ini disebabkan karena virus berada dalam kelenjar ludah nyamuk. Sebelumnya virus akan bereplikasi dalam kelenjar ludah nyamuk selama 8-12 hari. selain itu, nyamuk Aedes memiliki waktu hidup yang cukup panjang sekitar 15-65 hari sehingga penularan masih bisa terjadi.

Ketika virus telah masuk ke tubuh pejamu, virus akan memasuki periode inkubasi selama 3-14 hari. Selama itu virus akan bereplikasi di target sel dendritik dan belum menunjukkan onset. Infeksi pada sel target seperti, sel dendritik, hepatosit, dan sel endotelial, mengakibatkan pembentukan respon imun seluler dan humoral terhadap infeksi virus pertama dan berikutnya.

Patogenesis
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.


Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:
v  Respon imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi oleh komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi oleh antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Ini yang disebut dengan antibody dependent enhancement (ADE).
v  Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL6 dan IL-10
v  Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag
v  Selain itu terjadi juga aktivasi komplemen oleh kompleks imun.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang menyatakan bahwa DBD terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun meninggi.

Kurane dan Ennis (1994) merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di dalam makrofag. Terjadinya infeksi makrofag menyebabkan aktivasi Th dan Ts sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF alfa, IL-1, PAF, IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma. Ini juga diperkuat oleh peningkatan C3a dan C5a.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:
v  Supresi sumsum tulang
v  Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan hematokrit, kadar hemoglobin, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue ataupun deteksi antigen RNA virus dengue dengan teknik RT-PCR. Pemerkisaan antibodi spesifik dengue dapat berupa antibodi total, IgG maupun IgM.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
v  Leukosit: dapat normal atau turun.
v  Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8
v  Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
v  Protein/albumin: dap;at terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
v  SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat
v  Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
v  Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
v  Golongan darah dan uji cocok serasi
v  Pemeriksaan IgG dan IgM dengue:
IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.

Pemeriksaan radiologi
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Asites pada efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.

Diagnosis
Demam dengue biasanya menunjukkan gejala yang nonspesifik seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang, dan persaan lelah. Tapi dapat berkembang menjadi demam berdarah dengue jika terdapat manifestasi hemoragik atau syok yang fatal (sindrom renjatan dengue). Infeksi asimptomatik terlihat pada 80% bayi dan anak-anak. Penyakit menjadi lebih parah pada usia dewasa.
Demam dengue merupakan penyakit demam akut selam 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi berikut: nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, petechiae (manifestasi hemoragik), dan leukopenia.

Diagnosis demam berdarah dengue (DBD) dapat ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi:
v  Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari
v  Terdapat minimal satu dari manifesatsi hemoragik seperti petekie, ekimosis, purpura, epistaksis, perdarahan gusi, melena, hemetemesis, dll
v  Trombositopenia (<100.000/ul)
v  Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma):
  • Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar umur dan jenis kelamin
  • Penurunan hematokrit >20% setelah terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
  • Efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia

Perbedaan DBD dan DD adalah ada tidaknya kebocoran plasma.
Setelah fase demam, pasien akan mengalami fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan/syok jika tidak ditangani dengan pengobatan yang adekuat.

Nyeri perut yang berkelanjutan disertai muntah, penurunan kesadaran, hipotensi gelisah, nadi yang cepat dan lemah dan hipotermia merupakan gejala dan tanda sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome).


Tatalaksana
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan DBD, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.


Protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa:
  1. Protokol 1: penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok. Dilakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, dan trombosit. Jika terjadi peningkatan Hb, Ht dan terjadi penurunan trombosit, maka tersangka perlu dirawat.
  2. Protokol 2: pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat. Cairan yang diberikan adalah cairan infus kristaloid
  3. Protokol 3: Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%. Tetap diberikan asupan cairan kristaloid dengan tetap dipantau nilai Hematokritnya. Jika terjadi perburukan maka jumlah cairan infus ditambah.
  4. Protokol 4: Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa. Pemberian infus cairan tetap seperti keadaan tanpa syok. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernapasan, dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin (tiap 4-6 jam). Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata. Transfusi darah diberikan jika terjadi perdarahan masif.
  5. Protokol 5: tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.
Pengobatan yang digunakan:
  1. Asetaminofen
Menurunkan panas melalui pengaruhnya secara langsung pada pusat pengaturan suhu tubuh di hipotalamus yang membuat vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat.
  1. Cairan kristaloid isotonik
Digunakan untuk meningkatkan volume intravaskular.
  1. Dextrose
Merupakan polimer glukosa. Digunakan untuk meningkatkan volume intravaskular, tekanan darah, dan perfusi kapiler. Digunakan bila pemberian kristaloid isotonik gagal.