Mendengar kata
HIV memubuat kita menjauh dari suatu
virus dengan 3 huruf tersebut. memang dalam beberapa dekade terakhir HIV telah
menjadi momok menakutkan didunia medis dan masyarakat umum. Orang-orang akan
menjauh jika ada orang diantara mereka yang “divonis” HIV/AIDS.
Indonesia
merupakan salah satu negara dengan penambahan kasus HIV/AIDS tercepat di Asia.
Di Asia Tenggara, laju penambahan kasus di Indonesia adalah yang tercepat.
Pada buan Juni 2010, jumah pengidap AIDS sebanyak 21.770 orang tersebar di 32
provinsi dan 300 kabupaten/kota di Indonesia. Jumlah ini meningkat 1.206 kasus
dibandingkan triwulan sebelumnya.
Proporisi cara
penularan HIV/AIDS tertinggi di Indonesia adalah melalui hubungan heteroseksual
(pria dan wanita), yaitu 49,3%. Cara penularan HIV/AIDS lain yang tinggi adalah
melalui pengguna NAPZA jarum suntik sebesar 40,4%. Proporsi lain yang lebih
rendah adalah LSL (lelaki yang suka berhubungan seks dengan lelaki) dan
penularan ibu-bayi pada masa perinatal; masing-masing 3,3% dan 2,7%.urutan cara
penularan tersebut berbeda dengan pada dekade laluu saat jalur transmisi
terpenting adalah penggunaan narkotika suntik.
Kondisi ini
menyebabkan pasangan dari ODHA (orang dengan
HIV/AIDS)ikut berisiko tertular HIV/AIDS; selain itu pasangan dari
pengguna narkotika suntik dan pria LSL juga memiliki risiko sangat tinggi
tertular HIV/AIDS. Pasangan dari ODHA, pengguna narkotika suntik, dan pria LSL
juga merupakan kelompok risiko tinggi; mereka adalah kelompok inferior yang
mendapatkan infeksi HIV/AIDS tanpa mengetahuinya, bukan akibat perbuatan yang
berisiko tinggi menularkan HIV/AIDS.
Kelihatannya
dari data diatas anak-anak bisa terkena HIV/AIDS?
Memang itulah
yang terjadi, setiap tahunnya hampir 400 ribu anak-anak tertular virus HIV,
kebanyakan berada di negara berkembang atau sedang. Pada tahun 2010, 250.000
anak dibawah usia 15 tahun meninggal karena sebab-sebab terkait HIV.
Dalam berita VOA
yang berjudul “PBB Luncurkan Kampanye untuk Akhiri Penularan HIV pada Anak”
menyebutkan bahwa para pejabat UNAIDS menjabarkan sekarang ini 3,4 juta anak
dibawah usia 15 tahun mengidap HIV. Selain itu,sekitar 42.000 wanita meninggal
setiap tahun akibat komplikasi terkait HIV dan kehamilan. Kalau sudah begini
bagaimana nasib dari anak yang dikandung ibu penderita HIV/AIDS jika operasi
sesar belum menjangkau semua lapisan masyarakat.
Pasangan Risiko
Tinggi HIV/AIDS
Dari empat juta
pengguna NAPZA suntik yang hidup dengan
HIV/AIDS di Asia, 25-60% telah menikah
atau memiliki pasangan wanita, artinya 25-60% dari empat juta pasangan
beriksiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS. Sementara itu, 10 juta wanita pekerja
seks dan 75 juta pengguna jasa pekerja seks reguler di Asia, masing-masing juga
telah mempunyai pasangan intimnya masing- masing. Dari 16 juta pria LSL di Asian
10-60% pria LSL telah menikah atau memiliki pasangan intim regular.
Survei di India
mendapatkan, dari 236 juta pasangan yang menikah pada usia produkti 1,18 juta
terinfeksi HIV. Dari jumlah tersebut, terdapat 0,42 juta wanita terinfeksi HIV
positif, 1,02 juta pria HIV positif dan 0,26 juta pasangan yang keduanya HIV
positif; sekitar satu dari empat pasangan HIV yang telah menikah., keduanya
terinfeksi HIV/AIDS. Sebagian besar wanita mendapatkan infeksi dari pasangan
atau suaminya yang memiliki perilaku seks bebas atau pernah/sedang menggunakan narkotika jarum suntik.
Di Indonesia
sampai 30 Juni 2010, dari 32 provinsi yang melaporkan data terkait estimasi
populasi rawan tertular HIV pada tahun 2009, terdapat total 105.784 pengguna
NAPZA suntik dengan pasangan pengguna NAPZA suntik sebanyak 28.085 orang.
Pelanggan WPS dan pelanggan warian dilaporkan sejumlah 3.241.244 orang, dengan
pasangan pelanggan sejumlah 1.938.650 orang. Berdasarkan data tersebut
diperkirakan 2 juta orang di Indonesia memiliki risiko tinggi tertular HIV/AIDS
karena merupakan pasangan tetap dari kelompok risiko tinggi. Jumlah ini lebih
sedikit dibandingkan data estimasi Depkes dan Biro Pusat Statistik Nasional
tahun 2002, bahwa sekitar 7-9 juta laki-laki di Indonesia menggunakan jasa seks
dan 50 persennya telah menikah sehingga sekitar 4 juta ibu rumah tangga
terancam tertular HIV. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh fenomena gunung es:
jumlah orang yang dilaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
sebenarnya.
Berdasarkan estimasi
Depkes dan KPAN, jumlah orang dengan HIV dan AIDS di Indonesia pada tahun 2006
sebanyak 193.030 orang, 11% diantaranya merupakan pasangan tetap pengguna NAPZA
suntik dan pengguna jasa pekerja seks
komersial, sehingga sekitar 21 ribu pasangan tetap telah hidup dengan HIV/AIDS.
Walaupun saat
ini epidemi HIV/AIDS di Indonesia masih dikuasai oleh pengguna narkotika suntik
dan pengguna jasa seks komersial, diperkirakan dalam 15 tahun ke depan,
prevalensi di kelompok pasangan tetap dari kelompok risiko tinggi juga akan
meningkat signifikan.
Pasangan Pelaku
Seks Bebas
Pelaku seks bebas di Indonesia banya terdapat pada
kelompok pria berisiko tinggi. Kelompok pria tersebut dapat menjadi jembatan
penularan antara WPS (Wanita Pekerja Seks) dengan masyarakat umum. Pekerjaan
seperti mengemudi truk, pelaut, tentara, dan pekerja migran yang sering bermalam di tempat yang jauh dari
rumah merupakan kelompok berisiko tinggi. Diperkirakan terdapat 8, 5 juta pria
pengguna jasa seks komersial pertahunnya.
Berdasarkan Survei Tepadu Biologis
Perilaku (STBP) 2007 terhadap empat kelompok pekerja pria, diketahui bahwa
prevalensi HIV di kalangan pria berisiko tinggi sekitar 0,8% di Papua dan
0,0-0,8 % di propinsi lainnya . Sampel yang dipilih adalah supir truk (di Deli
Serdang dan Batang), anak buah kapal atau ABK (di Batam, Medan, Semarang,
Surabaya), pekerja pelabuhan (di Jakarta, Merauke, Sorong), dan tukang ojek (di
Medan, Banyuwangi, dan Jayapura).
Beberapa temuan penting dari survei tersebut,
antara lain supir truk dan anak buah kapal merupakan kelompok paling berisiko
tinggi tertular HIV yang berasal dari hubungan seksual dengan WPS (wanita pekerja seks). Dari
kelompok tersebut, 55-87% berstatus menikah. Pada kelompok kerja yang sama,
pria yang berasal dari Papua lebih banyak kontak dengan WPS dan pasangan kasual
(pasangan lain yang melakukan hubungan tanpa dibayar) dibandingkan dengan pria
yang berasal dari propinsi lain. Penggunaan kondom konsisten pada pria berisiko
masih rendah, dan sebagian besar tidak tahu bahwa penggunaan kondom dapat
mengurangi risiko penularan HIV. Selain itu, keadaan diperburuk oleh kenyataan
bahwa masih sedikit kelompok pria berisiko tinggi yang menjalani tes HIV.
Adanya penyedia jasa seks bebas (WPS)
merupakan faktor penting penularan HIV/AIDS terhadap pria berisiko tinggi
tersebut; pengetahuan mereka terhadap penggunaan kondom rendah, sama dengan
pengetahuan para pria pengguna jasa mereka. Pengetahuan penggunaan kondom
tersebut seharusnya lebih disosialisasikan untuk menekan laju penularan HIV/AIDS
melalui jalur seksual.
Saat ini studi mengenai kondisi, pengetahuan,
dan perilaku dari pasangan tetap pria berisiko tinggi masih sangat minim.
Padahal dengan jumlah yang cukup besar tersebut, perhatian juga harus diberikan
terhadap para pasangan tetap ini. Perusahaan atau instansi tempat bekerja
diharapkan memberikan penyuluhan terhadap pasangan mengenai HIV/AIDS serta cara
pencegahannya, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan kedua pasangan. Layanan
konseling perubahan
perilaku juga perlu disediakan. Pemeriksaan
kesehatan termasuk tes HIV secara rutin perlu diadakan di perusahaan tempat
bekerja, berikut juga tindak lanjut yang tepat berupa pengobatan dan skrining
bagi pekerja dan keluarganya. Selain itu hal yang sangat penting adalah promosi
penggunaan kondom serta akses kondom gratis bagi para pekerja.
Pasangan
pengguna narkotika suntik
Pengguna napza suntik (penasun) merupakan
kelompok berisiko sangat tinggi terhadap penularan HIV karena perilaku
penggunaan jarum suntik secara bergantian. Diperkirakan pada tahun 2006 di
Indonesia terdapat 190.000-248.000 penasun. Survei terhadap enam kota di
Indonesia mendapatkan 43-56% pengguna NAPZA suntik di empat kota telah
terinfeksi HIV dan sebanyak 38-59% dari penasun memiliki pasangan tetap. pengguna
NAPZA suntik juga melakukan hubungan seks
dengan banyak orang termasuk di antaranya
pasangan tetap, pasangan tidak tetap, dan WPS; dan sebagian besar melakukannya
tanpa menggunakan kondom.
Saat ini pemerintah telah menyediakan Program
layanan jarum suntik (LJSS) dan program terapi rumatan metadon (PTRM) yang
telah mencapai cakupan tinggi di beberapa kota. Progam ini berdampak baik
berupa menurunnya pemakaian jarum suntik bergantian. Permasalahan saat ini antara
lain masih kurangnya jumlah jarum suntik yang didistribusikan serta cukup
banyaknya Pengguna NAPZA suntik yang kembali menyuntik narkotik setelah terapi rumatan
metadon. Tes HIV terhadap Pengguna NAPZA suntik juga masih rendah, hanya kurang
dari 30% melakukan tes HIV dalam setahun terakhir. Pengetahuan tentang HIV pada
Pengguna NAPZA suntik cukup baik tetapi tidak mempengaruhi perilaku Pengguna
NAPZA suntik.
Berdasarkan studi lain di tiga kota (Jakarta,
Surabaya, Bandung) di Indonesia yang mempelajari perilaku seksual pada penasun,
didapatkan bahwa hampir semua pengguna narkotika suntik mengetahui bahwa HIV
dapat ditransmisikan lewat pemakaian bersama alat suntik, namun 85% pemakai menggunakan
alat suntik secara bersama dalam satu minggu terakhir. Dalam hal ini,
pengetahuan mereka tidak berbanding lurus dengan perilaku. Lebih dari dua per
tiga aktif secara
seksual, 48% dilaporkan memiliki pasangan seks
lebih dari satu dan 40% menggunakan jasa seks komersial dalam satu tahun
terakhir. Tetapi hanya 10% yang menggunakan kondom secara
teratur.
Melihat kondisi di atas, di mana prevalensi HIV
sangat tinggi pada pengguna NAPZA suntik, perilaku seks yang bebas, dan
pemakaian kondom yang masih rendah, risiko terhadap pasangan tetap para penasun
terinfeksi HIV/AIDS juga sangat tinggi. Saat ini upaya yang telah ada kurang
menjangkau pasangan tetap tersebut, karena itu diperlukan upaya dan perhatian
yang lebih besar. Pemberian informasi mengenai HIV/ AIDS terhadap pasangan
tetap sangat diperlukan. Para pasangan tetap diharapkan aktif bekerja sama mendukung
proses kesembuhan suami/ pasangannya serta aktif melindungi diri dari infeksi
HIV dengan skrining dan penggunaan kondom secara teratur. Upaya ini juga perlu
mendapat dukungan pemerintah.
Pasangan
pria LSL
Lelaki yang suka berhubungan seks dengan lelaki
(LSL) juga turut berperan dalam penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Di Indonesia
diperkirakan pada tahun 2006 terdapat sekitar 384.320 sampai 1.149.270 LSL,
dengan rata-rata 766.800 orang. LSL ini juga berperan dalam penularan terhadap
wanita, sehingga turut menjadi jembatan penghubung
penularan virus HIV ke populasi yang lebih luas.
Berdasarkan survei tahun 2006 di enam kota di
Indonesia (Medan, Batam, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang). LSL cenderung
memiliki banyak partner seks, baik laki-laki maupun
perempuan, dan banyak di antara mereka juga
membeli dan menjual seks. Sebanyak 87% LSL melakukan seks kasual dengan
pasangan pria, dan 40% dengan pasangan wanita setahun sebelum survei ini.
Sepertiga LSL melaporkan memiliki pasangan pria tetap dan 16% memiliki pasangan
wanita tetap, dan 22% pasangan tetapnya memiliki pasangan lain. Jaringan ini
meningkatkan risiko penularan HIV/ AIDS pada LSL dan pasangannya.
Pengetahuan mengenai kondom di populasi LSL
cenderung menengah hingga tinggi. Namun, pengetahuan mengenai HIV secara umum
serta pencegahannya melalui penggunaan
kondom masih rendah. Salah satu penyebab kurangnya
pengetahuan dan perilaku terkait pencegahan HIV/AIDS adalah masih rendahnya
penggunaan layanan konseling HIV/AIDS dan tes
HIV/AIDS di berbagai pelayanan kesehatan. Diperlukan
penelitian lebih lanjut mengapa LSL tidak memanfaatkan layanan tersebut,
terkait pula faktor stigma atau perlakuan diskriminatif.
Jaringan LSL yang luas dan rumit menyebabkan jangkauan
kepada LSL saat ini masih sangat kurang, hal ini lebih mempersulit jangkauan
terhadap pasangan dari LSL tersebut. Kesadaran pribadi pasangan LSL untuk
meningkatkan proteksi diri dengan pemakaian kondom sangat diperlukan, begitu pula
terhadap layanan konseling dan tes HIV. Tindakan umum pemerintah juga sangat diperlukan,
berupa ditingkatkannya pemberian informasi dan pendidikan mengenai HIV/AIDS
serta
adanya perlindungan hukum yang jelas terhadap
hak wanita.
Dari epidemiologi yang telah dipaparkan secara
panjang lebar, sudah semestinya kita mulai waspada terhadap terjadinya
HIV/AIDS, walaupun bukan berarti kita harus menjauhi orang dengan HIV/AIDS.
Bagaimana H Virus HIV dapat menginfeksi
manusia?
Penyebab Human Immuno-defi ciency Virus
(HIV) adalah virus RNA famili Retrovirus, subfamili Lentiviridae.
Sampai sekarang baru dikenal 2 serotipe HIV yaitu HIV-1 sebagai
penyebab sindrom defi siensi imun (AIDS) dan HIV-2 yang dikenal sebagai Lymphadenopathy
Associated Virus type-2 (LAV-2).Secara morfologik HIV-1 berbentuk
bulat dan terdiri dari inti (core) dan selubung(envelope). Inti
tersusun dari protein genom RNA dan enzim reverse transcriptase yang
membuatnya mampu memperbanyak diri secara khusus, sedangkan
selubung terdiri dari suatu glikoprotein.
Pada awal perjalanan infeksi HIV terjadi invasi
cepat dan replikasi virus dalam jaringan limfoid saluran cerna (GALT = Gut
Associated Lymphoid Tissue) diperantarai integrin α4β7 yang
merupakan reseptor homing sel T. Ikatan protein gp120HIV dengan reseptor
integrin α4β7 sel T-CD4 akan memicu pembentukan formasi sinaps dengan sel
berdekatan yang memudahkan penyebaran HIV dari sel ke sel secara efi
sien.Terjadi penyebaran HIV langsung ke jaringan limfoid saluran cerna.
Selanjutnya HIV akan memediasi deplesi sel T-CD4 sehingga terjadi disfungsi
sistem imun. Kemampuan virus untuk berikatan dengan integrin α4β7 akan
menentukan besarnya dampak terhadap jaringan limfoid saluran cerna dan deplesi
sel T-CD4.
Reproduksi virus terjadi secara cepat dalam
2-6 minggu sesudah pajanan, menimbulkan gejala klinis menyerupai penyakit
mononukleosis akut (acute mononucleosis like illness) seperti demam,
nyeri kepala, lesu, ruam kulit, dan limfadenopati. Masa inkubasi berkisar 17-35
hari dan gejala klinis berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Gejala
klinis infeksi primer tidak terlihat pada bayi mungkin karena transmisi
prenatal, perbedaan beban transmisi virus atau fenotip atau karena imaturitas
responimun. Selain itu bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV telah mempunyai
antibodi
spesifi k HIV yang dapat mengurangi gejala
klinis.
Fase penyakit akut berhubungan dengan tingginya
viremia dan luasnya penyebaran virus terutama ke jaringan limfoid dan organ
lain seperti SSP, ditandai dengan ditemukannya RNA HIV yang dapat mencapai kadar 1.000.000 kopi virus/mL dan
antigenemia p24. Beban virus (viral load) yang tinggi ini menetap dalam
jangka panjang pada anak yang terinfeksi pada masa prenatal sehingga virologic
point pada anak cenderung lebih tinggi.
Dalam 1-2 minggu akan terbentuk respon imun
CTL dan antibodi, terjadi penurunan dramatis viral load. Hal ini
berhubungan juga dengan terperangkapnya kompleks imun virus-antibodikomplemen
dalam sel dendrit folikular (FDC). Dengan
menurunnya virus dalam sirkulasi, dapat terjadi pemulihan
parsial hitung sel T-CD4. Konsentrasi plasma
virus pada akhir fase akut merupakan set point yang berhubungan dengan
perjalanan penyakit infeksi HIV. Set point yang tinggi berhubungan dengan
cepatnya perjalanan penyakit.
Fase laten asimptomatik pada dewasa dapat
bertahun-tahun setelah infeksi primer. Pada sebagian anak umumnyafase laten
lebih singkat atau tanpa fase laten sama sekali dengan kerusakan progresif sel
T-CD4 dan jaringan sel FDC kelenjar limfoid.
Pengobatan HIV/AIDS dan Pencegahannnya?
Rekomendasi antiretroviral menggunakan 2
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) + Non-nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Langkah:
·
Pilih 1 NRTI
untuk dikombinasi dengan 3 TC
·
Pilih NNRTI
Golongan NRTI
·
Zidovudine (AZZT)
·
Stavudin (d4T)
Golongan NNRTI
·
Nevirapin
·
Efavirenz
Tetapi sepertinya sudah terdapat penelitian
terbaru untuk penggunaan obat pencegahan yang baru saja ditemukan seperti yang
dilaporkan VOA berjudul “Orang Sehat Bisa Gunakan Obat AIDS untuk Pencegahan
AIDS” tanggal 27 Mei 2012 dan “Pil
Truvada Diyakini Bisa Cegah Penularan HIV” yang diberitakan tanggal 16 Mei
2012.
Pil Truvada
sudah didukung oleh Komisi Penasihat Obat-obatan Antivirus pada Badan
Pengawas Obat-obatan dan Pangan (Food and Drugs Administration /FDA). Seperti yang dikemukakan oleh Mitchell
Warren, ketua kelompok advokasi AIDS, AVAC bahwa pil Truvada terdiri dari dua
obat antiretroviral yang berbeda yaitu tenofir dan emtrisitabin.
Untuk pertamakalinya FDA mempertimbangkan
sebuah pil untuk mencegah HIV. Data yang
diperoleh berasal dari sejumlah ujiciba untuk melihat kemungkinan manfaat pil
Truvida kepada orang yang tidak terinfeksi HIV, akan tetapi berisiko terkena
HIV dengan harapan bisa mencegah penularan virus itu.
“Jika orang berisiko terkena atau merasa
terkena HIV, minum pil ini setiap hari sebagai bagian dari beerbagai usaha
pencegahan, termasuk pemeriksaan rutin HIV, orang bisa banyak mengurangi risiko
penularan. Ini merupakan langkah besar ke depan dalam menambah opsi baru bagi
laki-laki dan perempuan untuk mencegah HIV,” tambah Warren.
Seperti yang sudah diketahui di bidang medis,
penderita HIV/AIDS tidak segera diobati setelah mereka tertular. Sebaliknya,
prosedur yang umum adalah menunggu sampai ssel kekebalan yang biasa diserang
oleh virus HIV yaitu CD4 mencapai tingkat tertentu atau gejala lain mulai
terjadi.
Oleh karena masalah inilah, para peneliti di
Universitas Amsterdam menduga bahwa dengan memulai pengobatan singkat segera
seelah penularan HIV diidentifikasi justru akan mempersiapkan sistem kekebalan
tubuh penderita untuk melawan virus.
Peneliti Marlous Grijsen mengatakan bahwa
mereka yang langsung diberi obat tidak mengalami efek samping yang signifikan.
Para peneliti menunggu sampai pedoman standar
mengatakan pasien harus memulai pengobatan antiretroviral, berdasarkan jumlah
CD4 yang rendah, misalnya, yang menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh
penderita melemah ke tingkat yang lebih berbahaya.
Kelompok yang tidak langsung mendapatkan obat
setelah tertular membtuhkan antiretroviral sekitar delapan bulan kemudian.
Sementara kedua kelompok yang diberi obat mampu menunda pengobatan kembali
antara satu sampai dua setengah tahun.
Peneliti lain, Jan Prins, mengatakan
pengobatan dini itu membantu mengekang virus.
Penderita yang mendapat pengobatan dini
terbukti memiliki respon yanglebih baik melawan HIV. Jumlah virus dalam darah
lebih rendah pada penderita yang diobati lebih dini.
Sepertinya pil Truvada telah menjadi harapan
baru dalam mencegah terjadinya HIV/AIDS. FDA mengharuskan perusahaan pembuat
obat itu, Gilead, melakukan evaluasi efek samping dan strategi untuk
menguranginya. Ini akan membantu menjamin keamanan dan kemanjuran penggunaan
Truvada, termasuk penyuluhan ekstensif bagi para petugas kesehatan dan uji coba
untuk memastikan orang memang tidak tertular HIV sebelum meminum pil itu.
Para peneliti menambahkan bahwa penderita yang
memulai pengobatan antiretroviral sementara membutuhkan waktu pengobatan lebih
singkat dan lebih murah.
Maka dari itu sebelum mengantisipasi adanya
penularan HIV/AIDS maka pihak berwenang di federal Amerika didesak untuk
menyetujui pengetesan HIV di rumah. Hal ini termuat dalam berita VOA tanggal 27
Mei 2012 “Pakar Anjurkan Penggunaan Alat Tes HIV di Rumah” , mungkin hal ini
membantu terhadap pencegahan penularan
HIV/AIDS dengan menggunakan alat tes yang dinamakan Ora Quick. Alat ini
memiliki hasil intrepetasi dengan benar pada 93% penderita HIV.
OraQuick menggunakanalat yang digosokkan di
mulut dan hasilnya diperoleh dalam waktu 20 menit.
Seperti daftar epidemiologi yang sudah
dijelaskan diatas, anak-anak termasuk kelomok rentan terjadinya HIV/AIDS karena
penularan dari ibu. Maka dari itu Pertmuan Tingkat Tinggi PBB mengenai AIDS
meluncurkan kampanye Believe It. Do It dalam berita VOA yang berjudul “PBB
Luncurkan Kampanye untuk Akhiri Penularan HIV pada Anak”. Hal ini bertujuan untuk mengakhiri penularan
HIV pada anak-anak pada tahun 2015.
Kampanye Believe It. Do It diluncurkan
menjelang Hari Ibu, dengan gagasan bahwa setiaphari adalah hari
Ibu.Partisipannya mencakup seluruh negara, baik maju maupun berkembang.
Penasihat senior dari UNAIDS mengenai
kesehatan ibu dan anak mengatakan bahwa sudah ada pengetahuan, keterampilan dan
sumberdaya yang memadai untuk mengakhiri sebagian besar penularan HIV dari ibu
ke anak. Ia mengatakan tanpa obat retroviral, tingkat penularan HIV dariibu ke
bayi pada ersalinan mencapi 40 persen. Dengan perawatan menggunakan obat
antiretroviral , angka tersebut turun menjadi hanya 2 persen.
Direktur Eksekutif UNAIDS Michel Sidibe
menyabut Rencana Global untuk mengakhiri penularan HIV pada anak-anak merupakan
peluan yang luar biasa, tetapi ia memperingatkan bahwa dukungan masyarakat
sangat diperlukan.
Strategi
pencegahan pada pasangan tetap ODHA
di Indonesia
Berdasarkan data di atas, pasangan dari orang
yang berisiko tinggi terkenaHIV/AIDS merupakan kelompok risiko tinggi tertular
HIV/AIDS. Jumlah mereka sangat besar secara epidemiologiSosialisasi dan
perlindungan terhadap kelompok ini sangatlah penting. Sayangnya, perhatian
terhadap kelompok “ibu rumah tangga” dan “istri tanpa perilaku risiko tinggi” masih
sangat kurang. Selama ini sebagian besar kegiatan promosi kesehatan banyak
berfokus pada pelaku seks bebas dan pengguna narkotika suntik. Dengan demikian,
tingkat kewaspadaan kelompok pasangan tetap masih sangat rendah.
Beberapa strategi dapat dilaksanakan untuk
menekan angka penularan HIV/AIDS pada kelompok pasangan. Beberapa di antaranya
mirip dengan strategi pencegahan seks bebas pada umumnya. Dukungan dan komitmen
yang kuat dari pemerintah, LSM (lembaga swadaya masyarakat), klinisi, ahli
kesehatan masyarakat, dan tokoh masyarakat sangat diperlukan untuk menyadarkan
kelompok pasangan agar mewaspadai penularan melalui pasangannya.
Saat ini, sudah dikeluarkan rencana strategis
(2003-2007) dan rencana aksi nasional (2007-2010, 2010-2014) dalam rangka
menekan laju penyebaran HIV/ AIDS di Indonesia. Di dalam strategi tersebut,
perhatian ditujukan bagi pelaku primer penularan HIV/AIDS, yaitu pelaku seks
bebas, pemakai jarum suntik, dan LSL. Beberapa program yang sudah ada, antara
lain pencegahan penularan melalui alat suntik (layanan alat suntik steril atau
LASS), terapi rumatan metadon, programprogram di lembaga pemasyarakatan pencegahan
penularan melalui transmisi seksual melalui promosi kondom dan layanan infeksi
menular seksual, program pencegahan penularan HIV
melalui ibu ke bayi (PMTCT), konseling dan
testing sukarela (voluntary counseling and testing), dan program perawatan
dukungan dan pengobatan.
Meskipun beberapa strategi yang disebutkan di
atas memiliki efek tidak langsung terhadap pasangan tetap para pelaku primer,
namun belum ada program yang secara spesifi k ditujukan langsung bagi populasi
tersebut. Padahal, diperkirakan jumlah populasi pasanganakan meningkat secara
signifi kan.
Hal ini menuntut agar populasi tersebut mendapatkan
program-program serta kebijakan yang lebih efektif. Beberapa strategi yang
dapat disarankan untuk mencegah dan menurunkan penularan HIV/AIDS pada pasangan
orang berisiko tinggi adalah sebagai berikut:
1. Strategi yang merupakan prioritas sampai
saat ini memang melakukan pencegahan penyebaran HIV terutama terhadap
kelompokkelompok berisiko tinggi seperti pekerja seks, pengguna narkotika
suntik, serta LSL, dengan memperluas dan
memperkuat strategi untuk turut mencapai pasangan tetap mereka. Peraturan
penggunaan kondom harus diperketat, melihat data penggunaan kondom
yang masih sangat minim. Terutama di tempat-tempat
yang berpotensi menjadi penjualan jasa seks, harus disediakan kotak kondom
gratis dengan kualitas kondom yang baik. Pemerintah juga harus membuat regulasi
publik mengenai penggunaan kondom ini terutama pada kelompok yang berisiko
tinggi tersebut dan juga pasangannya. Selain peraturan yang tegas juga
diperlukan pendidikan dan informasi khususnya pada kelompok risiko tinggi
tersebut mengenai bahaya penularan HIV/AIDS dan penyakit menular seksual
lainnya dan bagaimana cara pencegahan serta pemeriksaan dini. Perlu juga
dilakukan pelatihan bagaimana cara pemasangan kondom yang benar, karena
diketahui tingginya tingkat kebocoran kondom pada populasi tersebut yang cukup
tinggi yang dapat mengakibatkan semakin besarnya penularan.
2. Pendidikan, pelatihan serta pemberian informasi
sebaiknya juga dilakukan ke masyarakat luas, misalnya diikutkan dalam kurikulum
pendidikan nasional di kalangan remaja dan dewasa muda (pendidikan seksual di
SD, SMP, atau SMA). Hal ini diperlukan karena saat ini pendidikan seksual belum
dimasukan ke dalam kurikulum secara nasional. Atau melalui media elektronika
mengenai HIV/AIDS termasuk sosialisasi penggunaan pengaman (kondom). Data
UNAIDS menyatakan bahwa penggunaan kondom terbukti sebagai satu-satunya cara
mencegah transmisi infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS. Penggunaan kondom juga
dapat hampir 100% mencegah transmisi infeksi menular seksual, di samping
abstinen (tidak melakukan hubungan).
Perlu diingat bahwa tingginya jenjang pendidikan
dan kelas sosialekonomi, tidak menjamin sedikitnya penggunaan jasa pekerja seks
komersial; penelitian di Hanoi, Vietnam menunjukkan makin tinggi status sosial
pria di masyarakat, makin tinggi frekuensi menggunakan jasa pekerja seks
komersial. Tetapi angka penggunaan kondom pria mapan
lebih tinggi daripada siswa dropout sekolah (84% berbanding 63%).
3. Layanan pemerintah untuk pasien-pasien ODHA
seperti Layanan Konseling & Tes Sukarela (VCT),
Pelayanan, Dukungan & Perawatan (CST),
Layanan Infeksi Menular Seksual (IMS), Layanan Alat Suntik Steril (LASS),
Layanan Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), serta layanan lainnya baik dari
pemerintah atau non-pemerintah, juga menjaring pasangan pasien ODHA terutama
dalam hal edukasi dan informasi terutama mengenai pentingnya pencegahan penularan
misalnya dengan menggunakan kondom secara teratur, mendapatkan akses kondom
gratis, serta saran untuk melakukan pemeriksaan gratis.
4. Perlunya Undang-Undang praktik kedokteran
yang melindungi para pasangan tetap penderita ODHA: pasangan tetap berhak
mengetahui status ODHA pasangannya; dokter seharusnya memberitahukan masalah
ini ke pasangannya.
5. Skrining penyakit infeksi menular seksual
pranikah (atau prahubungan seksual). Skrining memiliki efektivitas sangat baik dalam
mencegah penularan penyakit infeksi menular seksual; namun kelemahannya adalah tindak lanjut jika hasil
skrining positif. Dapat timbul masalah, baik dalam hubungan antara pasangan, maupun keluarga
masing-masing. Melalui skrining, dapat diketahui penyakit-penyakit menular yang diidap
pasangan, misalnya HIV/ AIDS, hepatitis B, hepatitis C, gonorea, dan sifilis.
6. Pentingnya keterlibatan perusahaan tempat
kerja para pekerjarisiko tinggi seperti supir truk, pelaut, tentara, dan
lainnya, untuk menyediakan program khusus di tempat kerjanya yang menjangkau pasangan.
Di antaranya meliputi penyuluhan/seminar terhadap pekerja dan pasangan mengenai
HIV/AIDS serta infeksi menular seksual, pelayanan konseling perubahan perilaku,
tes HIV dan pemeriksaan kesehatan secara rutin, promosi dan layanan kondom
gratis, serta konsultasi dengan dokter keluarga atau bidan menyangkut masalah
reproduksi. Data MAP (Monitoring of AIDS Pandemic), mendapatkan 40-70% pria
pengguna jasa seks adalah pria yang memiliki pasangan tetap. Hal ini membuat penularan
HIV/AIDS menjadi cukup tinggi pada pasangan dari pria risiko tinggi tersebut.
7. Kewaspadaan dini dan tindakan aktif dari
pasangan tetap para pelaku risiko tinggi (pelaku seks bebas, pengguna narkoba suntik, dan pria LSL).
Kurangnya program dari pemerintah memerlukan kewaspadaan dari pasangan untuk melindungi
diri terhadap infeksi HIV/AIDS, dengan menggunakan kondom secara rutin, mencari informasi secara
aktif, pemeriksaan kesehatan, dengan tetap meningkatkan komunikasi dan dukungan
terhadap pasangannya.
8. Pemeriksaan kesehatan dan penyakit menular
bagi mantan pengguna narkotika suntik dan pelaku seks bebas. Pemeriksaan diri
sendiri wajib dilakukan oleh setiap orang yang pernah terlibat, baik dalam
kegiatan seks bebas, narkotika jarum suntik, LSL, mantan penghuni penjara,
asrama, atau barak di mana orang-orang berisiko tinggi terkena penyakit menular
seksual.
Sampai saat ini, belum ada program atau
undang-undang pemerintah Indonesia yang secara tegas melindungi para pasangan
tetap orang-orang berisiko tinggi dari risiko penularan HIV/AIDS. Undang-undang
yang telah ada saat ini adalah mengenai usia pernikahan yang legal secara
hukum, HAM, serta kesetaraan gender yang hanya digambarkan secara umum. Selain
itu belum ada undang-undang khusus mengenai tes HIV, diagnosis, pengobatan,
serta perawatan terhadap penderita HIV. Sebagai saran, perlu integrasi berbagai
bidang terkait (pemerintah, klinisi, ahli kesehatan masyarakat, ahli hukum,
tokoh masyarakat, tokoh agama, sosiolog) untuk merumuskan rekomendasi dan perlindungan
bagi pasangan tetap orang berisiko HIV/AIDS. Penelitian efektivitas
masing-masing strategi juga perlu dilakukan untuk mengetahui prioritas program
pencegahan penularan HIV/AIDS terhadap pasangan tetap.
Kesimpulan
Pasangan
tetap ODHA adalah kelompok risiko tinggi tertular HIV/AIDS. Saat ini, kelompok
tersebut tidak menjadi sasaran promosi kesehatan, meskipun jumlahnya semakin
bertambah. Perhatian pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan klinisi hanya terpusat
pada pelaku seks bebas dan pengguna
narkotika jarum suntik. Beberapa contoh mereka adalah pasangan tetap pelaku
seks bebas, pasangan tetap pengguna narkotika jarum suntik, dan pasangan tetap
pria LSL. Masing- masing
kelompok memiliki peluangnya sendiri-sendiri dalam tertular HIV/AIDS. Beberapa
strategi ke depan untuk mencegah penularan HIV/ AIDS adalah skrining infeksi
menular seksual pranikah atau pra-hubungan seksual, pendidikan seksual,
sosialisasi penggunaan pengaman (kondom) saat berhubungan seksual, keterlibatan
perusahaan dengan pekerja risiko tinggi, kewaspadaan dini pasangan, pemeriksaan
kesehatan berkala, dan pendidikan/kursus pranikah. Permasalahan pasangan tetap
ODHA merupakan tanggung jawab pemerintah, klinisi, ahli kesehatan masyarakat, serta
tokoh agama dan masyarakat.
Di
masa depan, kita wajib memikirkan inovasi strategi untuk mencegah penularan
bagi kelompok ini. Penelitian mengenai kondisi, pengetahuan, perilaku, dan
hal-hal lain terkait stigma serta perlakuan terhadap para pasangan tetap perlu
dilakukan. Selain itu, penelitian mengenai efektivitas masing-
masing
strategi perlu dilakukan sebagai bahan evaluasi program kesehatan di berbagai
golongan tertentu (misalnya pada suku atau budaya tertentu, atau agama
tertentu).
Peraturan
mengenai hak dan kewajibanuntuk mendapat informasi medis berkaitan dengan diri
dan pasangannya perlu dibuat agar menjamin kebebasan tenaga kesehatan dalam
menyampaikan informasi penyakit menular seksual yang diidap oleh salah satu
pasang. Selain itu, hal yang juga penting adalah perlu dibuatnya peraturan
perundang-undangan yang secara tegas melindungi para pasangan tetap ODHA di
Indonesia.
Ya
dengan beberapa penemuan dibidang pengobatan, kampanye Believe It.Do It, dan
strategi pencegahan dini HIV/AIDS dapat terwujud dan mewujudkan masyarakat
dunia yang sehat dan bebas dari HIV/AIDS.
Sumber:
Noviani Sugiarto. Penyebaran HIV/AIDS pada
Pasangan ODHA di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran Januari-Februari 2011.
Yuly. Aspek Klinis HIV. Cermin Dunia
Kedokteran Januari-Februari 2011.
Orang sehat Mungkin Bisa Gunakan Obat AIDS
untuk Pencegahan AIDS, 27 Mei 2012 VOA Indonesia
Pakar Anjurkan Penggunaan Alat Tes HIV di
Rumah, 27 mei 2012 VOA Indonesia
PBBLuncurkan Kampanye untuk Akhiri Penularan
HIV pada Anak, 27 Mei 2012 VOA Indonesia
Pengobatan Dini Bantu Persiapkan Sistem
Kekebalan Tubuh, 27 Mei 2012 VOA Indonesia
Pil Truvada Bisa Cegah Penularan HIV, 16 Mei
2012 VOA Indonesia