tipe imunitas
Imunitas bawaan ( innate immunity )
Imunitas non-spesifik selalu ditemukan pada
individu sehat dan siap menghancurkan mikroba yang msuk dalam tubuh dab siap
menghancurkannya. Jumlah sistim imun ini dapat ditingkatkan oleh infeksi.
Disebut non-spesifik karena tidak ditujukan pada mikroba tertentu, telah
ada dan siap berfungsi sejak lahir. Sistim ini merupakan pertahanan terdepan
terhadap serangan berbagai macam mikroba dan dapat memberikan respon langsung.
A. Pertahanan Fisik
Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik, kulit,
selaput lendir, silia, batuk, dan bersin merupakan garis pertahanan pertama
terhadap agen infeksi. Kulit yang terkena luka bakar akan meningkatkan resiko
terkena infeksi.
B. Pertahanan Biokimia
Kebanyakan mikroba tidak dapat menembus kulit yang
sehat, namun ada beberapa yang dapat masuk lewet kelenjar sebaseus dan folikel
rambut.
Lisozim dalam keringat, ludah, air mata, dan air
susu ibu, melindungi tubuh terhadap berbagai
macan kuman gram positif dengan menghancurkan lapisan peptidoglikan dari
dinding bakteri.
Laktooksidase dan Asam Neuraminik yang terkandung
dalam ASI mempunyai
sifat antibakterial terhadap E.coli.
Saliva juga mengandung Laktooksidase yang merusak
dinding mikroba dan menyebabkan
kebocoran sitoplasma mikroba serta mengandung antibodi da komplemen yang dapat
berfungsi sebagai opsonin dalam lisis sel mikroba.
Asam Hidroklorida dalam lambung, enzim
proteolitik, antibodi, dan empedu dalam usus halus membantu menciptakan
lingkungan yang dapat mencegan infeksi berbagai macam mikroba.
Laktoferin dan Transferin dalam serum dapat
mengikat besi yang merupakan esensial untuk hidup beberapa jenis mikroba.
C. Pertahanan Humoral
Sistem imun non-spesifik
menggunakan berbagai molekul larut. Molekul larut tertentu diproduksi di tempat
infeksi. Molekul tersebut antara lain peptida antimikroba seperti defensin,
katelesidin dan IFN(interferon) dengan efek antiviral. Faktor lainnya
diproduksi di tempat yang lebih jauh.
1.Komplemen
Komplemen berperan dalam pertahanan humoral. Komplemen bekerjasana dengan
antibodi dalam serum normal untuk menghancurkan beberapa bakteri gram negatif.
Komplemen rusak pada pemanasan 560C selama 30 menit.
Komplemen terdiri atas sejumlan besar protein yang bila diaktifkan
memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon inflamasi.
Komplemen diproduksi oleh hepatosit dan monosit dan dapat secara langsung
diaktofkan oleh mikroba atau prouknya. Komplemen berperan sebagai opsonin yang
meingkatkan fogositosis, sebagai faktor kemotaktik dan juga menimbulkan
destruksi/lisis bakteri dan parasit.
Antibodi dengan bantuan komplemen
dapat menghancurkan membran LPS(lipopolisakarida) dari bakteri. Bila LPS
menjadi lemag maka Lisozim, mukopeptida dalam serum dapat menembus membran
bakteri.
2. APP (Acute Phase Protein)
Selama fase akut infeksi, terjadi perubahan kadar beberapa protein dalam
serum yang disebut APP yang akhir ini merupakan bahan anti mikrobial dalam
serum yang meningkat dengan cepat setelah sistem imun nonspesifik diaktifkan.
Protein yang meningkat atau menurun selama fase akut juga disebut sebagai APRP(Acute
Phase Response Protein) yang berperan dalam pertahanan dini.
a. C-Reactive Protein
CRP yang merupakan salah satu APP termasuk golongan protein yang kadarnya
dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respon imunitas non-spesifik.
Sebagai Opsonin CRP mengikat berbagai mikro organisme. Pengukuran CRP digunakan
untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat 100x atau lebih
dan berperan dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul
seperti fosfoilkolin yang ditemukan pada permukan bakteri/jamur. Sintesis CRP
meninggat meninggikan viskositas plasma dan laju endap darah. Adanya CRP yang
tetap tinggi menunjukan infeksi yang persisten.
b. Lektin
Lektin/kolektin merupakan molekul larut dalam plasma yang dapat mengikat
manosa dalam polidsakarida yang merupakan permukaan banyak bakteri seperti
galur pneumokok dan banyak mikroba, tetapi tidak pada sel vertebrata.
c. APP lain
APP lain adalah alpha1-antitripsin, amiloid serum A, haptoglobin, C9,
faktor B dan fibrinogen juga berperan pada peningkatan laju endap darah akibat
infeksi, namun dibentuk jauh lebih lambat dibaning dengan CRP. Secara
keseluruhan, respon fase akut memberikan efek yang menguntungkan melalui
penningkatan resistensi penjamu, mengurangi cidera jaringan, dan meningkatkan
resolusi dan perbaikan cidera inflamasi.
3. Mediator Asal Lipid
Metebolisme fosfolipid diperlukan untuk produksi PG(prostaglandin) dan
LTR(leukotrin). Keduanya meningkatkan respons inflamasi melalui peningkatan
permeabilitas vaskuler dan vasodilatasi.
4. Sitokin IL-1, IL-6, TNF-alpha
Selama terjadi infeksi, produk bakteri seperti LPS mangaktifkan makrofag
dan sel lain untuk memproduksi dan melepas berbagai sitokin seperti IL-1 yang
merupakan pirogen endogen, TNF-alpha dan IL-6. pirogen adalah bahan yang
menginduksi demam yang dipacu baik oleh faktor eksogen(endotoksib asal bakteri
gram negatif) atau endogen seperti IL-1 yang diproduksi makrofag dan monosit.
Ketiga sitokin tersebut disebut sitokin proinflamasi, merangsang hati untuk
mensintesis dan melepas sejumlah protein plasma seperti APP antara lain CRP
yang dapat maningkat 1000 kali, MBL(Manan Binding Lectin) dan SAP(Serum
Amyloid Protein).
B. Pertahanan Selular
Fagosit, sel NK, sel Mast berperan dalam sistem imun non-spesifik
selular. Sel-sel sistem imun tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau
jaingan. Contoh sel yang dapat ditemukan dalam sirkulasi adalah neutrofil,
eosinoil, basofil monosit, sel T, sel B, sel NK, SDM dan platelet. Sel-sel
tersebut dapat mengenal produk mikroba esensial yang diperlukan untuk hidupnya.
Adaptive Immunity dan
ciri – ciri adaptive immunity
1.
Limfosit T
Produksi Limfosit T
·
Respon imun
seluler adalah respon untuk melawan mikroorganisme intraseluler.
·
Fungsi ini
dijalankan oleh limfosit T. Limfosit T diproduksi pada bone marrow dan fetal
liver.
ø Mengalami maturasi pada timus. Sel epitel pada
timus mengeluarkan hormon yang penting dalam maturasi sel T.
ø Setelah mengalami maturasi, sel T dilepaskan lewat
sirkulasi menuju jaringan limfatik dan organ-organ limfatikus lainnya.
Fungsi efektor dilakukan oleh sel T
sitotoksik atau sel T pembunuh atau lebih lazim dinamakan sel CD8. Sel ini
dapat mematikan sel yang terinfeksi virus , sel tumor, dan jaringan
transplantasi dengan menyuntikan zat kimia dengan mengeluarkan zat yang
dinamakan perforin.
Leukosit dan sel-sel lain menghasilkan protein larut
atau glikoprotein yang dipanggil sitokin (cytokines) yang
berfungsi sebagai pengutus kimia (chemical messengers) antara sel.
Fungsi utama sitokin ialah terlibat dalam kawalaturan perkembangan dan kelakuan
sel-sel yang terlibat dalam gerak balas imun. Lazimnya sitokin dirembeskan
tetapi ada juga yang diekspres pada permukaan sel atau tersimpan dalam matriks
luar sel. Sitokin bergabung dengan sel sasaran melalui reseptor permukaan yang
berhubung dengan tapak jalan transduksi isyarat intrasel. Sitokin merupakan
protein sistem imun yang bertindak sebagai pengubahsuai respons biologi (biological
response modifiers). Protein-protein ini mengkoordinasi interaksi antara
sel-sel dalam sistem imun. Sitokin termasuk monokin (dihasilkan oleh
makrofaj, seperti interleukin-1, faktor nekrosis tumor, interferon a dan b) dan limfokin
(dihasilkan oleh sel T teraktif dan sel NK, seperti interleukin 2-6, interferon
g,
limfotoksin). Sel-sel endotelium dan fibroblas serta beberapa jenis lain juga
mungkin menghasilkan sitokin.
Baik sel CD4 maupun sel CD8 menjalani
pendidikan di timus untuk belajar mengenai fungsinya masing-masing.Sel-sel CD4 terutama terbanyak
terdapat di medula timus, tonsil dan darah. Sel CD4 mempunyai 4 fungsi utama
yaitu : sel CD4 memiliki fungsi regulatorik, yang mengaitkan sistem
monosit-makrofag ke sistem limfoid; berinteraksi dengan APC untuk
mengendalikaan pementukan imunoglobulin; menghasilkan sitokin yang memungkinkan
sel CD4 dan CD8 tumbuh; berkembang menjadi sel pengingat (memory). Saat Sel-sel
CD 4 berinteraksi dengan APC , sel CD4 mengeluarkan interferon gamma yang
fungsinya menarik makrofag lain ke lokasi, mengaktifkan makrofag tersebut dan
memperkuat reaksi jaringan terhadap
antigen.
Fungsi efektor sel CD8, ditemukan
terutama di sumsum tulang dan GALT. Sel CD8 melakukan dua fungsi efektor utama
yaitu hipersensitifitas tipe lambat dan sitotoksisitas. Hipersensitifitas tipe
lambat terjadi saat imunogen organisme intrasel seperti fungus atau
mikrobakteri menimbulkan suatu respon alergi.
Sitotoksisitas berperan dalam menhancurkan sel yang terinfeksi oleh virus,
penolakan cangkokan dan destruksi sel tumor. Semua sel di dalam tubuh memiliki
salah satu antigen yaitu MHC 1 dimana sel CD8 dapat mengenali kompleks
MHC-epitop, selanjutnya sel CD8 mengeluarkan perforin (zat kimia toksik yang
mampu membran luar suatu sel yang terinfeksi) dan granzymes (enzim protease).
Perforin membentuk sebuah lubah seperti pori-pori di membran sel yang
terinfeksi sehingga cairan ekstrasel dapat masuk kedalam sel kemudian DNA
mengalami penguraian dan memicu terjadinya apoptosis.
Secara singkat imunitas selular memiliki fungsi sebagai
berikut :
·
Sel CD8 memiliki fungsi
sitotoksik. Sel CD8 menyebabkan kematian langsung sel sasaran seperti sel yang
terinfeksi oleh virus.
·
Sel T juga menyebabkan reaksi
hipersensitifitas tipe lambat saat menghasilkan berbagai limfokin yang
menyebabkan reaksi peradangan. Limfokin tidak saja memengaruhi jaringan secara
langsung tetapi mengaktifkan sel lain seperti APC.
·
Sel T memiliki kemampuan untuk
mengingat. Sel T pengingat memungkinkan akselarasi respon imun apabila tubuh
terpajan untuk kedua kalinya ke imunogen yang sama walaupun dalam interval yang
lama dari pajanan awal
·
Sel T juga memilikiperan penting dalam regulasi atau
pengendalian. Sel CD4 dan sel CD8 meningkatkan atau menekan respon imun seluler
dan humoral.
Proses imunitas
spesifik di pengaruhi juga oleh epitop. Epitop merupakandeterminan
antigen yang dimiliki imunogen (segala sesuatu yamg menyebabkan respon imun)
yaitu bentuk molekul yang dikenali oleh antibodi dan reseptor. Inilah yang
membuat antibodi atau T-cell receptor (T-CR) tidak bereaksi dengan keseluruhan
molekul tetapi hanya pada bagian tertentu dari molekul.
APC atau antigen
precenting cell bekerja untuk mengenalkan antigen dengan antibodi. Sel T akan
berespon terhadap antigen jika antigen berikatan dengan molekul spesifik yaitu
MHC (mayor histokompatibilitas kompleks) pada permukaan sel yang menampilkan
antigen (APC). Termasuk APC yaitu makrofag, Limfosit B dan sel
dendritik.
Adapun respon imun itu di bedakan menjadi respon primer dan sekunder. Hal
ini terkait dengan sifat memori yang dimiliki. Respon primer merupakan respon
awal pertama kali saat antigen masuk. Reaksi respon dari tubuh akan lambat.
Sedangkan respon sekunder merupakan reaksi atau respon selanjutnya terhadap
antigen. Respon yang diberikan cepat dan besar. Karena pada respon primer telah
terjadi pengenalan dan pengaktifan sistem memori sehingga ketika terjadi
penyerangan lagi akan menghasilkan reaksi yang cepat.
Mikroorganisme intraseluler sulit dijangkau oleh
antibodi, mikroorganisme ini antara lain virus dan mikroba intraseluler seperti
M-tuberkulosa yang hidup dalam makrofag
Respon imun seluler adalah respon untuk melawan
mikroorganisme intraseluler
Fungsi ini dijalankan oleh limfosit T. Limfosit T
diproduksi pada bone marrow dan fetal liver.
ø Mengalami maturasi pada timus. Sel epitel pada
timus mengeluarkan hormone yang penting dalam maturasi sel T.
ø Setelah mengalami maturasi, sel T dilepaskan lewat
sirkulasi menuju jaringan limfatik dan organ-organ limfatikus lainnya.
Imunitas selular meliputi empat kelas dari sel T
ø sel T
sitotoksin (TC) merupakan efektor dari imunitas selular yang
mengeluarkan serangan pada agen asing. Disebut juga sel T pembunuh, tapi tidak
sama dengan NK sel.
ø sel T helper (TH) meningkatkan aksi
dari sel TC dan berperan serta dalam
imunitas selular dan sistem imun nonspesifik.
ø sel T supressor (TS) membatasi dan
menjaga sistem imun agar tidak lepas kendali.
ø sel T memori, beertanggung jawab atas memori dalam
sistem imun selular.
Dua cara perlawanan :
ø Sistem efektor ekstraseluler; Sel terinfeksi akan dibunuh, misalnya oleh sel T
sitotoksik
ø Pengaktivasian sel terinfeksi, agar mampu membunuh mikroorganisme yang
menginfeksinya.
Respon imun seluler juga merupakan mekanisme utama
pertahanan tubuh terhadap tumor
Makrofag yang distimulasi limfokin efektif
memfagosit protooa intraseluler seperti Trypanosoma cruzy, Leishmania
donovani, Toxoplasma gondii, Plasmodium sp., serta cacing (cacing filaria
dan skistosoma)
Sel T sitotoksik secara langsung dapat
menghancurkan sel dan fibroblas jantung yang terinfeksi T. cruzy
Sel T bereaksi terhadap antigen yang dilepaskan
secara lokal oleh cacing atau telurnya kemudian mengisolasinya dengan
pembentukan granuloma.
- Reseptor Limfosit T, merupakan protein heterodimerik transmembran yang tersusun atas dua
rantai yang dihubungkan oleh ikatan disulfida.
Terdapat
dua kelas reseptor yang berbeda.
ø α dan β. Sel T αβ membentuk fenotip sel T yang
dminan dan dibagi menurut ekspresinya pada penanda permukaan sel lainnya,
protein tersebut disebut CD4 dan CD8 yang menurut kelas fungsionalnya,
masing-masing merupakan sel T helper dan sitotoksik.
ø γ dan δ, sel T yang mengekspresikan γδ relatif
jarang dijumpai pada manusia.
ø Protein reseptor sel T mempunyai variabel dan
konstan yang mirip dengan antibodi.
ø Pada semua sel T fungsional yang spesifik antigen,
dua rantai reseptor sel T secara nonkovalen berhubungan dengan enam rantai
polipeptida lainnya yang tesusun atas lima protein ynag berbeda, ynag membentuk
kompleks CD3 untuk transduksi sinyal yang diterima oleh reseptor sel T dalam
pengenalan antigen yang masuk ke dalam sel (protein transmembran) yang menyebabkan transkripsi gen, aktivasi sel, dan inisiasi aktivasi fungsional sel T.
- Sitokin
Cytokine merupakan peptida
yang disekresi oleh sel ke dalam cairan ekstrasel dan dapat berfungsi sebagai
autokrin, parakrin atau hormon endokrin. Cytokine contohnya adalah interleukin
dan limfokin yang disekresi sel T helper.
Cytokine disekresi oleh leukosit,makrofag, sel mast, dan beberapa tipe sel
lainnya yang menjadi mediator pertahanan imun dan non spesifik tubuh. Cytokine
meliputi interferon, faktor kemotaktik, faktor pertumbuhan, interleukin, tumor
necrosis factor, dan zat kimia lainnya.
ø sitokin merupakan molekul sinyal yang dilepaskan
dari satu sel dan berikatan dengan reseptor pad sel tetangganya (interleukin,
TNF, IFN)
ø sitokin dilepaskan oleh sel T untuk menstimulasi
sel B
Ï berproliferasi
Ï mensintesis dan mensekresi antibodi
Ï berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan
mensekresi antibodi
Ï menggantikan kelas antibodi yang sedang
diproduksi.
1.
Limfosit B
Limfosit yang berasal dari sumsum
tulang, atau “B”, terdiri atas 10% hingga 20% dari populasi limfosit perifer
yang beredar dalam sirkulasi. Sel ini terdapat pula dalam sumsum tulang,
jaringan limfoid perifer (kelenjar getah bening, limpa, dan tonsil), serta
dalam organ nonlimfoid, seperti traktus gastrointestinal. Sel B terletak di
dalam korteks kelenjar getah bening dan
pulpa putih limpa. Stimulasi menyebabkan
pembentukan zona sentral sel B yang
diaktifasi dan besar dalam folikel, yang disebut sentrum germinativum.
Setelah stimulasi sel B membentuk sel
plasma yang mensekresi imunoglobulin , yang selanjutnya menjadi mediator imunitas humoral. Terdapat
lima isotope imunoglobulin dasar; 95% antibody dalam sirkulasi merupakan IgG,
IgM, serta IgA, dan peranan IgE dan IgD relative minimal. Setiap isotipe
mempunyai kemampuan khusus untuk mengaktivasi komplemen atau merekrut sel radang, serta mempunyai peranan yang jelas;
misalnya IgA merupakan mediator penting
pada imunitas mukosa, sedangkan IgE mempunyai kepentingan khusus untuk infeksi
cacing (dan dalam respons elegri).
Sel B mengenali antigen melalui
permukaan monomerik IgM, yang disebut dengan reseptor sel B (BCR). Sewperti
pada sel T, setiap BCR mempunyai
spesifisitas antigen yang unik , yang sebagian besar berasal dari
penyusunan ulang somatic pada gen imunoglobin. Oleh karena itu, terdapatnya gen
imunoglobin yang telah disusun ulang dalam suatu sel limfoid digunakan sebagai
suatu penanda molekuler sel yang merupakan jalur keturunan B; penyusun ulang semacam
itu dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi proliferasi sel-B poliklonal
(nonneoplastik) atau monoclonal (neoplastik). Sejalan dengan kompleks TCR-CD3,
BCR berinteraksi dengan beberapa molekul serupa yang bertanggung jawab untuk
transduksi sinyal dan untuk melengkapi
aktivitas sel-B. satu contohnya adalah molekul sel-B CD40 yang berikatan dengan
CD154 pada sel T teraktivasi dan molekul tersebut sangat penting untuk
pematangan sel-B dan sekresi antibody
IgG,IgA, atau IgE. Para pasien dengan mutasi CD154 terutama menghasilkan IgM
dan menderita imunodefisiensi yang disebut dengan sindrom hiper IgM X-linked.
Molekul kostimulator penting lainnya yang terkait sel-B adalah CD21 (juga
dikenal reseptor komplemen CR2); molekul ini juga merupakan reseptor yang
menyebabkan virus Epstein-Barr (EBV) dapat mencapai sel B manusia.
Sel B
mempunyai 2 fungsi penting, yaitu:
1.
berdiferensiasi menjadi sel plasma dan menghasilkan
antibodi.
2. berfungsi sebagai
sel penyaji antigen (Antigen Preenting
Cells, APC).
Pembentukan limfosit B
Limfosit B diolah lebih dahulu di
hati selama pertengahan kehidupan janin,
dan sumsum tulang selama masa akhir janin dan setelah lahir.
Limfosit B berbeda dengan limfosit T,
dalam dua hal ; pertama, berbeda dengan seluruh sel yang membentuk reaktivitas
terhadap antigen, seperti yang terjadi pada limfosit T, maka limfosit B secara
aktif menyekresikan antibody yang merupakan bahan reaktif. Bahan ini merupakan
molekul protein yang besar yang mampu berkombinasi dengan dan menghancurkan bahan
antigenic. Kedua, limfosit B bahkan memiliki lebih banyak keanekaragaman
daripada limfosit T, jadi membentuk banyak sekali smapai berjuta- juta dan
bahkan bermiliar- miliar – antibody tipe limfosit B dengan berbagai rektivitas
yang spesifik.
Setelah diolah lebih dahulu, limfosit
B, seperti juga limfosit T, bermigrasi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh
dimana mereka menempati daerah yang sedikit lebih kecil daripada limfosit-T.
Pada saat
embriogenesis, cikal bakal sel B pertama kali ditemukan di hepar janin.
Dari hepar,
sel-sel tersebut bermigrasi ke sumsum tulang untuk menetap seterusnya.
Maturasi sel B melewati 2 fase, yaitu:
1.
Fase tidak
tergantung antigen yang terdiri dari perubahan sel-sel induk menjadi sel
pre-B dan sel-sel B
2.
Fase tergantung antigen yang meliputi
perubahan-perubahan yang terjadi akibat interaksi antigen dengan sel B, yaitu
menjadi sel B yang teraktivasi dan sel plasma.
ø Pada sel B
didapatkan Ig M permukaan yang berfungsi sebagai reseptor antigen.
ø Sel B meliputi
sekitar 30 % dari semua limfosit kecil dalam sirkulasi.
ø Sel B juga dapat
ditemukan di germinal centers
limfonodi atau pulpa putih lien, juga didapatkan pada jaringan limfoid yang
berhubungan dengan saluran pencernaan, misalnya Peyer’s patches.
Ø Pengertian
Komplemen
merupakan sistem yang terdiri atas sejumlah protein yang berperan dalam
pertahanan pejamu, baik dalam sistem imun nonspesifik maupun sistem imun
spesifik. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim serum yang berfungsi
dalam inflamasi, opsonisasi dan kerusakan (lisis) membran patogen. Dewasa ini
diketahui sekitar 20 jenis protein yang berperan dalam sistem komplemen.
Komplemen
merupakan molekul larut sistem imun nonspesifik dalam keadaan tidak aktif yang
dapat diaktifkan berbagai bahan seperti LPS (Lipopolisakarida) bakteri. Komplemen juga dapat berperan dalam
sistem imun spesifik yang setiap waktu dapat diaktifkan kompleks imun. Hasil
aktivasi tersebut menghasilkan berbagai mediator yang mempunyai sifat biologik
aktif dan beberapa diantaranya merupakan enzim untuk reaksi berikutnya.
Aktivasi komplemen merupakan usaha tubuh menghancurkan antigen asing, namun
sering pula menimbulkan kerusakan jaringan sehingga merugikan tubuh sendiri.
Aktivasi
komplemen menghasilkan sejumlah molekul efektor yang mempunyai efek biologik
dan peran dasar pada:
§ Lisis sel, bakteri dan virus.
§ Opsonisasi yang meningkatkan
fagositosis partikel antigen.
§ Mengikat reseptor komplemen spesifik
pada sel sisitem imun sehingga memacu fungsi sel spesifik, inflamasi dan
sekresi molekul imunoregulatori.
Ø Aktivasi Komplemen
Sistem
komplemen dapat diaktifkan melalui 3 jalur, yaitu jalur lektin, jalur klasik,
dan jalur alternatif.
1.
Jalur klasik
Aktivasi
komplemen melalui jalur klasik dimulai dengan dibentuknya kompleks
antigen-antibodi larut atau dengan ikatan antibodi dan antigen pada sasaran
cocok, seperti sel bakteri. Aktivasi jalur klasik dimulai dengan C1 yang
dicetuskan oleh kompleks imun antibody dan antigen.
2.
Jalur Alternatif
Aktivasi jalur alternatif memproduksi
produk aktif seperti halnya dengan jalur klasik, tetapi untuk awal reaksi tidak
diperlukan kompleks antigen-antibodi. Aktivasi jalur alternatif dimulai dengan
C3 yang merupakan moleku tidak stabil dan terus menerus ada dalam aktivasi
spontan derajat rendah dan klinis yang tidak berarti. Aktivasi spontan C3
diduga terjadi pada permukaan sel, meskipun sel normal mengekspresikan
inhibitor permukaan yang mencegah aktivasi C3.
3.
Jalur Lektin
Lektin
adalah protein larut yang mengenal dan mengikat residu manosa dari hidrat arang
yang merupakan bagian dinding sel mikroba. Oleh karena itu jalur lektin disebut
jalur MBL (Mannan Binding Lectin)
atau jalur ikatan mannan. Lektin adalah golongan famili kolektin, yang
merupakan protein fase akut dan kadarnya meningkat pada respons inflamasi.
Aktivasi jalur lektin diawalai oleh terjadinya ikatan antara polisakarida
mikroba dengan lektin dalam sirkulasi.
Menjelaskan organ beserta fungsinya masing – masing
Sejumlah organ limfoid dan jaringan
limfoid yang morfologis dan fungsinoal berlainan berperan dalam respon imun.
Organ limfoid tersebut dapat dibagi menjadi organ primer (sentral) dan organ
limfoid sekunder (perifer). Timus dan sumsum tulang merupakan organ primer yang
merupakan organ limfoid tempat pematangan limfosit.
1.
Organ Limfoid Primer atau Sentral
Sumsum Tulang (Bone Marrow)
Sumsum tulang atau bone marrow ini terletak
dalam cavum medullare tulang panjang dan substansinya spongiosa semua tulang.
Fungsi dari sumsum tulang :
-
Sebagai tempat hematopoesis
-
Dalam system imun sebagai
tempat pembentukan dan pematangan sel limfosit B dan T
-
Untuk imunitas
Thymus
Timus merupakan organ limfoepitelial yang
terletak di mediastinum. Jika dilihat secara mikroskopik, timus ini terdiri
atas 2 bagian, yaitu : cortex dan medulla.
Pada cortex, populasi sejumlah besarnya yaitu terdapat limfosit khususnya
limfosit T. sedangkan pada medulla terdapat : limfosit, eosinofil, myeloblast,
pembuluh darah dan Hassall`s body. Dimana Hassall`s body ini merupakan
kelompokkan konsestris sel epitel yang berdegradasi.
Adapun
fungsi dari Timus, yaitu :
-
Terdapat pada badan Hassall
-
Membantu dalam pembentukan
limfosit
-
Berfungsi dalam pematangan sel
T
-
Mengandung sel induk
diferensiasi sel mast, dll.
2. Organ Limfoid Sekunder
atau Perifer
Pada
organ limfoid sekunder, limpa dan kelenjar getah bening merupakan organ yang
terorganisasi tinggi. Sedangkan jaringan limfoid yang kurang terorganisasi
secara kolektif disebut MALT (Mucosal Associated Lymphoid Tissu) yang banyak
ditemukan di beberapa tempat di dalam tubuh, yang meliputi jaringan limfoid
ekstranodul yang berhubungan dengan mukosa diberbagai lokasi, seperti : SALT di
kulit, BALT di bronkus, GALT di saluran cerna (meliputi Plak Peyerdi usus
kecil, apendiks, berbagai folikel limfoid dalam lamina propria usus), mukosa
hidung, tonsil, mame, serviks uterus, membrane mukosa saluran napas atas,
bronkus dan saluran kemih.
Limpa atau Lien (Spleen)
Limpa merupakan organ limfoid terbesar di
dalam tubuh. Karena didalamnya banyak terdapat sel fagositik dan kontak sel-sel
ini yang erat dengan darah, limpa menjadi pertahanan penting terhadap
mikroorganisme yang berhasil memasuki peredaran darah.
Fungsi
:
-
menjadi pertahanan penting
terhadap mikroorganisme yang berhasil memasuki peredaran darah atau dapat
menyaring darah
-
menbentuk limfosit
-
membentuk antibody
-
menjadi tempat penghancuran
eritrosit tua
-
sebagai organ
pembentuk-antibodi
Limfonodus (Nodus
Limfatikus)atau Kelenjar Getah Bening
Limfonodus merupakan organ berbentuk
ginjal/lonjong dan bersimpai yang terdiri atas jaringan limfoid yang tersebar
di seluruh tubuh sepanjang pembuluh limfe. Kelenjar getah bening ini banyak
ditemukan di ketiak, lipat paha, sepanjang pembuluh besar di leher, dan serta
banyak dijumpai di toraks dan abdomen, khususnya pada mesenterium.
Fungsi
:
-
Sebagai tempat filtrasi limpa
-
Proses fagositosis oleh
makrofag
-
Memproduksi antibody sebagai
aktifitas limfosit B
Tonsil
Tonsil merupakan organ yang terdiri atas
agregat jaringan limfoid bersimpai tak utuh, yang terdapat di bawah, dan
berkontak dengan epitel bagian awal saluran cerna. Adapun fungsi tonsil secara
umum yaitu untuk mekanisme pertahanan tubuh saluran napas bagian atas.
Dilihat dari lokasinya, tonsil dapat
dibedakan menjadi 3 macam :
1.
Tonsila Lingualis
Tonsila lingualis ini lebih kecil dan
lebih banyak daripada tonsila palatina atau faringea. Tonsil ini terletak di
bawah lidah dan ditutupi epitel berlapis gepeng. Pada setiap tonsila ini
memiliki satu kriptus.
2.
Tonsila Palatina
Tonsila ini terletak di dinding
lateral faring. Di bawah epitel berlapis gepeng, jaringan limfoid padat pada tonsil
membentuk pita yang mengandung nodul limfoid, umumnya dengan pusat germinal.
Setiap tonsil memiliki 10-20 invaginasi epitel yang masuk jauh ke dalam
parenkim, yang membentuk kriptus. Kriptus terlihat sebagai bintik-bintik
purulen pada tonsillitis. Jaringan limfoidnya dipisahkan dari struktur
dibawahnya oleh suatu pita jaringan ikat padat disebut simpai tonsil yang
biasanya bekerja sebagai sawar terhadap penyebaran infeksi tonsil.
3.
Tonsila Faringea
Tonsila faringea merupakan tonsil
tunggal yang terdapat di bagian postero-superior faring dan ditutupi oleh
epitel bertingkat silindris bersilia, yang khas untuk epitel saluran
pernapasan, dan daerah epitel berlapis.
Tonsila ini terdiri atas lipatan
mukosa dan mengandung jaringan limfoid difus dan nodule, tidak memiliki kriptus
dan simpainya lebih tipis daripada sipai tonsila palatine.
1.
Melindungi tubuh dari benda asing
Agen penyait infeksi biasanya masukke
dalam tubuh melalui kulit atau membran mukosa, seperti permukaan epitel
nasofaring , paru-paru, usus, dan saluran genito-urinaria. Rintangan mekanis
kulit dan mukosa utuh pada tempat-tempattersebut akan mencegah masuknya
organisme ke dalam tubuh. Kebanyakan bakteri gagal bertahan hidup lama pada
kulit karena pengaruh hambatan langsung asam laktatdan asam lemakdalam keringat
dan sekresi sebasea, serta pH rendah yang dihasilkan. Berbagai pertahan fisik
dan biokimia melindungi permukaan mukosa . Misalnya, lisozim, suatu enzim yang
ada di dalam berbagai sekresi dan mampu memecah peptidoglikan yang melekat pada
dinding sel-sel beberapa bakteri. Mukus yang disekresi oleh membran
mukosamemblokade perlekatan bakteri dan virus pada sel epitel. Mikroba dan partikel lain akan terperangkap dalam mukus
yang adesif dan dibuang secari mekanis, seperti oleh gerakan silia, batuk dan
bersin. Daya sensor air mata, ludah dan urin juga bersifat protektif.
Suatu organisme yang mampu menembus
permukaan epitel yang ada dikulit maupun permukaan mukosa akan dinemui temui
oleh sel fagosit yang banyak tersebar disepanjang tempat masuknya organisme.
Ada dua tipe fagosit utama , yaitu :
1). Neutrofil polimonuklear yang
memberikan pertahanan utam terhadap infeksi bakteri piogen
2). Monosit/makrofag yang aktif terhadap bakteri, virus,
dan parasit intraselular.
Fagosit melekat pada mikroba melalui
beberapa mekanisme pengenalan primitif. Selanjutnya, fagosit menelan dan
membunuh mikroba tersebut degan pembentukan enzim litik dan radikal yang
memeatikan, seperti anion superoksida, hidrogen peroksida, oksigen singlet dan radikl hidroksil. Fagosit
juga mempunyai reseptorterhadap ujung karboksil molekul antibodi (Reseptor Fc)
dan terhadap fragmen komplemen C3b (Reseptor C3b) yang membantu menunjukannya
kepada mikroorganisme yang diselubungi antibodi atau komplemen.
2.
Sebagai perahanan terhadap infeksi
Reaksi tubuh terhdap invasi
infeksi diperlihatkan dengan adanya
inflamasi. Pada inflamasi terjadi migrasi sel dan kebocoran molekul-molekul
serum ke tempat inflamasi . Kejadian ini dikendalikan oleh (1) Peningkatan
pasokan darah ke lokasi inflamasi, dan (2) peningkatan permeabilitas kapiler
yang disebabkan oleh retraksi sel-sel endotel. Kejdian ini memungkinkan
molekul-molekul besar seperti antibodi,
komlemen, dan sistem enzim plasma lain melewati endotel untuk mncapai lokasi
inflamasi .
Timbulnya reaksi inflamasi
dikendalikan oleh sitokin. Sistem enzim plasma. Dan mediator vasoaktif. Jenis
mediator vasoaktif yang terlibat dalam inflamasi tergantung pada jenis inflamasinya
. mediator kerja-cepat, seperti amin vasoaktif dan produk sistem kinin
memodulasi respon segera, sedangkan mediator yang baru disintesis kemudian ,
seperti leukotrin, berperan untuk akumulasi dan aktivitas sel. Leukosit yang
telah mencapai lokasi inflamasi akan melepas mediator yang akan mengatur
akumulasi dan aktivasi sel-sel lainnya.
Ada empat sistem enzim plasma yang berpean pada reaksi
radang yaitu :
1.
Sistem penjendalan
(coagulation) darah
2.
Sistem fibrinolitik (plasmin)
3.
Sistem kinin
4.
Sistem komplemen
Sistem komplemen terutama berfungsi
sebagai penghubung antara reaksi radang dan reaksi imunologis spesifik
selanjutnya. Sistem kinin melepas mediator bradikinin dan lisil-bradikinin
(kalidin). Bradikinin adalah molekul vasoaktif yang sangat kuat dan mampu menimbulkan dilatasi venul,
peningkatan permeabilitas kapiler dan kontraksi otot polos. Bradikinin
dihasilkan pasca aktipasi faktor hageman (XII) sistem penjendalan darah,
sedangkan kalidin dihasilkan pasca-aktivasi sistem plasmin atau dari enzim yang
dilepadkan oleh jaringan yang rusak.
Pada awal reaksi radang, IL-1 dan
IL-6dilepaskan oleh sel-sel jaringan tempat inflamasi. Setelah limfosit dan
sel-sel mononuklear berada dilokasi inflamasi dan diaktivasi oleh antigen,
sel-sel tersebut akan melepas sitokin-sitokinnya (IL-1, TNF, IL-4, IFNy).
Sitokin-sitokin tersebut akan meningkatka migrasi seluler dengan mempengaruhi endotel setempat.
Sitokin lain seperti IL-8, bersifat khemotaktik serta bekerja menginfasi sel-sel
yang berdatangan .
Pada reaksi radang, ada beberapa sel
lain seperti sel mast, basofil, dan trombosit, yang ikut berperan. Sel-sel
tersebut merupakan sumber penting mediator vasoaktif histamin dan serotonin
yang mengakibatkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Sel mast
juga merupakan sumber penting mediator inflamasi yang bekerja lambat, seperti
leukotrin, prostaglandin dan tromboksan. Trombosit dapat diaktifkan oleh
kompleks imun atau oleh faktor pengaktif (platelet activating factor, PAF) yang
dihasilkan oleh neutrofil, basofil dan makrofag. Hal ini penting pada reaksi
hipersensitifitas tipe II dan tipe III.
3.
Homeostasis
Kita tidak akan bertahan hidup
melawan awal masa bayi apabila kita tidak memiliki mekanisme-mekanisme
pertahanan tubuh. Mekanisme-mekanisme ini menahan dan mengeliminasi benda-benda
asing yang potensial berbahaya, yang dengannya kita terus menerus berkontak di
lingkungan eksternal yang tidak ramah ini. Mekanisme tersebut juga
menghancurkan sel-sel abnormal yang sering muncul didalam tubuh. Homeostasis
dapat secara secara optimal dipertahankan (dan dengan demikian, hidup dapat
dipertahankan), hanya jika sel-sel tidak mengalami cedra fisik atau terganggu
fungsinya oleh mikroorganisme patogenik atau tidak diganti oleh sel-sel yang
berfungsi abnormal, misalnya sel-sel yang mengalami trauma atau sel-sel kanker
. sistem pertahanan imun, yaitu jaringan interaktif-kompleks-beraneka segi dari
leukosit, produk-produk sekretoriknya, dan protein plasma, berperan secara
tidak langsung bagi homeostasis dengan menjaga agar sel-sel tetap hidu,
sehingga mereka dapat melaksanakan fungsi khusus mereka untuk mempertahankan
lingkungan internal yang stabil. Sistem imun melindungi sel-sel tubuh,
mengeliminasi sel-sel kangker yang baru tumbuh, dan membersihkan sel yang cedra
atau mati untuk diganti oleh sel baru
yang sehat. Kulit berperan secara tidak angsung pada homeostasis dengan
berfungsi sebagai sawar protektif antara lingkungan eksternal dan sel-sel tubuh
lainnya . kulit membantu mencegah bahan asing
yang berbahaya, misalnya patogen atau zat kimia toksik, masik ke dalam
tubuh membantu mencegah hilangnya cairan tubuh. Kulit juga berperan secara
langsung bagi homeostasis dengan membantu mempertahankan suhu tubuh melalui
kelenjar keringat dan penyesuaian aliran darah kulit. Jumlah panas yang dibawa
ke permukaan tubuh untuk disalurkan ke permukaan eksternal ditentukan oleh
volume darah hangat yang mengalit ke kulit.
Sistem lain yang memiliki rongga
internal yang berhubungan dengan lingkungan eksternal, misalnya sistem
pencernaan, genitourinaria, dan pernafasan juga memiliki pertahanan untuk
mencegah agen (bahan) eksternal berbahaya masuk ke dalam tubuh melalui
rute-rute tersebut.
Menjelaskan mekanisme
pertahanan pertahanan tubuh berkaitan dengan inflamasi
Inflamasi adalah suatu respon
protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta
membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel.
Inflamasi melaksanakan tugas pertahanannya dengan mengencerkan, menghancurkan dan
menetralkan agen berbahaya (misalnya mikroba atau toksin). Respon radang memiliki banyak pemain, yaitu
sel dan protein plasma dalam sirkulasi, sel dinding pembuluh darah, dan sel
matriks ekstraselular jaringan ikat di sekitarnya. Sel dalam sirkulasi adalah
leukosit polimorfonuklear (PMN) yang berasal dari sum – sum tulang (neutrofil),
eosinofil, dan basofil ; limfosit dan monosit ; serta trombosit ; protein dalam
sirkulasi , meliputi faktor pembekuan, kininogen, dan komponen komplemen yang
sebagian besar disintesis oleh hati. Sel dinding pembuluh darah meliputi sel
endotel yang berkontak langsung dnegan darah, dan sel otot polos yang
mendasarinya yang memberikan tonus pada pembuluh darah. Sel jaringan ikat
meliputi sentinel untuk menginvasi, misalnya sel mast, makrofag, dan limfosit
serta fibroblast yang menyintesis matriks ekstraselular dan dapat
berproliferasi untuk mengisi luka. Matriks ekstraselular (ECM) terdiri atas
protein penyusun fibrosa (misalnya kolagen dan elastin), proteoglikan yang
membentuk gel, dan glikoprotein adhesive (misalnya fibronektin) yang merupakan
penghubung sel-ECM dan ECM-ECM. Semuanya ini akan berinteraksi untuk mengatasi
secara ideal suatu cidera lokal dan memulihkan fungsi jaringan normal.
Pada saat respons radang, meliputi suatu
perangkat kompleks berbagai kejadian yang sangat harmonis, garis besar suatu
inflamasi adalah sebagai berikut. Stimulus awal radang memicu pelepasan
mediator kimiawi dari plasma atau jaringan ikat. Mediator terlarut itu bekerja
bersama atau secara berurutan, memperkuat respons awal radang dan mempengaruhi
perubahannya dengan mengatur respon selular dan vaskular berikutnya.
Urutan kejadian ekstravasasi leukosit
dari lumen pembuluh darah ke ruang ekstravaskular dibagi menjadi yaitu :
1.
Marginasi dan Rolling
Saat darah mengalir dari kapiler
menuju venula pascakapiler, sel dalam sirkulasi dibersihkan oleh aliran laminar melawan
dinding pembuluh darah. Selain itu, sel darah merah discoid yang lebih kecil
cenderung bergerak lebih cepat daripada sel darah putih speris yang lebih besar . Akibat pengaruh
ini, leukosit terdorong dari sumbu sentral pembuluh darah (tempat leukosit
biasanya mengalir) sehingga leukosit memiliki kesempatan lebih baik untuk
berinteraksi dengan sel endotel yang melapisinya. Interaksi ini dibantu dengan
meningkatkan permeabilitas vascular yang terjadi pada inflamasi yang
menyebabkan cairan keluar dari pembuluh darah dan aliran darah melambat. Proses
akumulasi leukosit di tepi pembuluh darah ini disebut marginasi. Selanjutnya,
leukosit berguling – guling pada permukaan endotel untuk sementara melekat di
sepanjang perjalanannya itu.
2.
Adhesi dan Transmigrasi
Leukosit akhirnya melekat kuat pada
permukaan endotel (adhesi) sebelu merayap di anatara sel endotel dan melewati
membran basalis masuk ke ruang ekstravaskular (diapedesis). Diapedesis leukosit terjadi secara menonjol venula
pembuluh darah sistemik, walaupun hal itu juga terjadi di kapiler pada
sirkulasi pulmonal . Adhesi kuat ini diperantarai oleh molekul superfamili immunoglobulin pada sel
endotel yang berinteraksi dengan sel integrin yang muncul pada permukaan sel
leukosit. Molekul adhesi endotel, yaitu ICAM-1 (intercellular adhesion molecule) dan VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule) 1) ; sitokin, seperti TNF dan
IL-1, menginduksi pengeluaran ICAM-1 dan VCAM-1. Setelah adhesi kuat terjadi
pada permukaan endotel, leukosit bertransmigrasi terutama dengan merembes
diantara sel pada intercellular junction.
PECAM-1 (platelet endothelial cell
adhesion molecule) merupakan protein yang dominan dalam memerantarai proses
ini. Setelah menembus endothelial
junction, leukosit menembus membrane basalis dengan mendegradasinya secara
fokal menggunakan kolagenase yang disekresi. Rolling, adhesi , dan transmigrasi
diperantarai oleh ikatan molekul adhesi komplementer pada leukosit dan
permukaan endotel. Mediator kimiawi – kemoatraktan dan sitokin tertentu
mempengaruhi proses ini dengan mengatur ekspresi permukaan.
3.
Kemotaksis dan Aktivasi
Setelah terjadi ekstravasasi dari darah,
leukosit bermigrasi menuju tempat jejas mendekati gradient kimiawi pada suatu
proses yang disebut kemotaksis. Kedua zat endogen dan eksogen dapat bersifat
kemotaktik terhadap leukosit, meliputi (1). Produk bakteri yang dapat larut,
khususnya peptida dengan N-formilmetionin termini ; (2). Komponen system
komplemen, terutama C5a ; (3). Produk metabolisme asam arakidonat (AA) jalur
lipoksigenasi, terutama leukotrien B4 dan (4). Sitokin terutama
kelompok kemokin (misalnya IL-8). Molekul kemotaksis berikatan pada reseptor
permukaan sel spesifik sehingga menyebabkan aktivasi fospolipase-C yang
diperantarai protein G ; fospolipaseC menghidrolisis fosfatidilinositol
bifosfat (PIP2) membran plasma menjadi diasiligserol (DAG) dan
inositol trifosfat (IP3). Kemudian DAG menyebabkan kejadian sekunder
sedangkan IP3 meningkatkan kalsium dan reticulum endoplasma dan
dengan influx ekstrasel. Meningkat ya kalsium sitosol memicu perakitan elemen
kontraktil sitoskeletal yang diperlukan untuk pergerakan. Leukosit bergerak
dengan memperpanjang pseudopodia yang berlabuh ke matriks ekstraselular dan
kemudian menarik sel kea rah perpanjangan tersebut.
4.
Fagositosis dan Degranulasi
Fagositosis dan elaborasi enzim degradatif
merupakan dua manfaat utama dari adanya leukosit ysng direkrut dari tempat
inflamasi. Fagositosis terdiri dari 3 langkah berbeda, tetapi saling terkait : 1). Pengenalan dan perlekatan partikel
pada leukosit yang menelan. Peristiwa ini difasilitasi oleh protein serum yang
secara umum disebut opsonin ; opsonin mengikat molekul spesifik pada permukaan
mikroba dan selanjutnya memfasilisitasi pengikatannya dengan reseptor opsonin
spesifik pada leukosit. Opsonin (misalnya, kolektin, atau C3b dan bagian Fc
immunoglobulin), (2). Pengikatan
partikel teropsonisasi memicu penelanan (engulfment) ; selain itu, pengikatan
IgG pada FcR menginduksi aktivasi selular yang memacu degradasi mikroba yang
ditelan. Pada penelanan, pseudopodia diperpanjang mengelilingi objek, sampai
akhirnya membentuk vakuola fagositik. Membrane vakuola kemudian berdifusi
dengan membrane granula lisosom sehingga terjadi pengeluaran kandungan granula
masuk ke dalam fagolisosom dan terjadi degranulasi leukosit. (3). Langkah akhir dalam fagositosis
yaitu pembunuhan dan degradasi. Pembunuhan mikroba dilakukan sebagian besar
oleh spesies oksigen reaktif. Fagositosis merangsang pembakaran oksidatif yang
ditandai dengan peningkatan konsumsi oksigen yang tiba – tiba, katabolisme
glikogen, peningkatan oksidasi glukosa dan produksi metabolit oksigen reaktif.
Mikroorganisme yang mati akibat peristiwa ini kemudian didegradasi oleh kerja
hidrolase asam lisosom. Respon radang diakhiri ketika stimulus yang
membahayakan menghilang dan mediator radang telah hilang dikatabolisme atau
diinhibisi.
Sistem pertahanan tubuh atau sistem
imun kita saat terjadi peradangan tak lepas dari peran leukosit. Saat terjadi
inflamasi atau peradangan, sel bergranular atau sel polimorfonuklear ( PMN )
akan bergerak menuju daerah yang cedera. Tanda-tanda dari peradangan yaitu
rubor, kalor, dolor, tumor dan fungsiolaesa. Salah satu peristiwa yang terjadi
saat peradangan adalah migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan. Saat terjadi cedera, granulosit akan bekerja lebih cepat. Ini yang
menjadi salah satu perbedaan dari agranulosit. Perlindungan di lakukan dengan
melakukan fagositosis. Neutrofil bergerak dengan cara diapedesis melalui
pori-pori kapiler dan dengan cara kemotaksis menuju daerah jaringan yang rusak.
Banyak jenis zat kimia dalam jaringan dapat
menyebabkan netrofil dan makrofag bergerak menuju sumber zat kimia. Bila suatu
jaringan mengalami peradangan, sedikitnya terbentuk selusin produk yang dapat
menyebabkan kemotaksis ke arah area yang mengalami peradangan. Zat-zat ini
adalah :
- beberapa toksin
bakteri atau v irus
- produk
degeneratif dari jaringan yang meradang itu sendiri
- beberapa produk reaksi kompleks komplemen yang diaktifkan di jaringan meradang yaitu C5a (fragmen yang memicu kemotaksis netrofil dan makrofag sehingga menyebabkan sel fagosit ini bermigrasi ke dalam jaringan yang berbatasan dengan agen antigenik
- beberapa produk reaksi yang di sebabkan oleh pembekuan plasma di area yamg meradang
Dalam melakukan fungsi fagositosis,
netrofil dan makrofag mengandung bahan bakterisidal yang dapat membunuh
sebagian besar bakteri.
Makrofag bekerja di banyak tempat, di kulit, nodus
limfe, alveolus paru, sinusoid hati ( disebut sel kupffer), di limpa dan sumsum
tulang.
Eosinofil merupakan sel fagosit yang
lemah , dan menunjukkan fenomena kemotaksis. Namun eosinofil sering diproduksi
dalam jumlah besar ketika terjadi infeksi parasit. Eosinofil akan melekatkan
diri pada parasit dan melepaskan zat yang dapat membunuh parasit.
Eosinofil juga mempunyai kecendeungan
khusus untuk berkumpul di jaringan tempat berlagsungnya reaksi alergi.
Begitupun dengan sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil melepaskan faktor
kemotaktik eosinofil yang menyebabkan eosinofil bermigrasi ke arah jaringan
alergik yang meradang. Eosinofil di duga mampu mendetoksifikasi beberapa zat
pencetus peradangan yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil.
Basofil serupa dengan sel mast
jaringan yang besar. Keduanya melepaskan histamin, bradikinin serta serotonin
dan berperan saat terjadi reaksi alergi karena antibodi yang menyebabkan reaksi
alergi yaitu IgE yang mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada sel
mast dan basofil.